Kampusgw.com

Menu

Antara Doa, Mimpi, dan Perjuangan

ferapa 5Sore itu cuaca agak mendung dan sedikit gerimis. Aku duduk jongkok di pinggiran Jalan TB Simatupang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan sambil menengadah ke arah langit. Sesekali kulirik dua buntal tasku yang lusuh berisi beberapa potong pakaian. Kakak laki-lakiku satu-satunya duduk di sampingku. Kami sedang menunggu motor tua kakakku yang ditambal karena bocor di tengah jalan. Waktu semakin sore, dan aku sangat takut jika aku akan terlambat.

8 September 2011

Waktu terus berdetak, aku masih terjebak di kemacetan Ibukota. Aku, dibonceng kakakku-Mas Anang-terus melaju ke arah Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Berkali-kali HP butut merek China-ku berbunyi, SMS dari mentorku terus berdatangan tanpa henti menanyakan di mana keberadaanku. Ya, hari itu, aku secara resmi akan menjadi salah satu mahasiswa Universitas Paramadina melalui program Paramadina Fellowship 2011 jurusan Hubungan Internasional. Sesuatu yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Terkadang masih tidak percaya, bahwa aku, yang berasal dari keluarga tidak mampu ini, bisa bersekolah hingga jenjang Sarjana, di kampus yang ternama pula. Sejak mendengar pengumuman penerima Paramadina Fellowship itu semangatku menjadi menggebu-gebu. Aku berangkat dari kampung halamanku, Kabupaten Ngawi Provinsi Jawa Timur, menuju Jakarta, dengan niat menimba ilmu.

Setibanya di Universitas Paramadina, beberapa tim panel Paramadina Fellowship serta mentor-mentor menyambut kedatanganku. Di dalam Aula Nurcholish Madjid telah berkumpul segerombol anak-anak negeri yang aku yakin sama-sama memiliki banyak mimpi dan harapan sepertiku. Dan mereka, akan menjadi kepingan mozaik yang penting dalam hidupku. Mereka akan menjadi keluarga baruku selama beberapa tahun ke depan. 34 orang penerima Paramadina Fellowship 2011, 21 orang laki-laki dan 13 orang perempuan. Mereka, yang datang dari penjuru nusantara, kini telah menjadi bagian terbaik dari hidupku.

Hidup dan Perjuangan

Aku tumbuh dalam sebuah keluarga yang sederhana. Masa kecilku dihabiskan dengan tumbuh di daerah pinggiran kota Jakarta. Ayahku adalah seorang karyawan swasta-pegawai Tata Usaha di sebuah sekolah swasta. Ibuku adalah seorang ibu rumah tangga yang sangat disiplin dan cermat dalam mendidik anak-anaknya maupun mengatur segala kebutuhan keluarga. Aku memiliki 3 saudara kandung, satu kakak laki-laki, satu adik perempuan dan satu adik laki-laki. Kala adik perempuanku lahir-tahun 2000-aku mengerti bahwa kondisi perekonomian keluarga akan semakin sulit. Hingga pada tahun 2003 aku memutuskan untuk meminta orangtuaku pindah ke kampung (Ngawi) agar biaya sekolahku tidak semakin memberatkan orangtua.

Di tahun 2003, akhirnya aku, Ibuku, dan adikku pindah ke Ngawi, tinggal di rumah nenekku. Sedangkan kakakku dan ayahku tetap di Jakarta, karena alasan sekolah dan pekerjaan. Selama tinggal dan bersekolah di sana, aku selalu berusaha menjadi yang terbaik untuk membanggakan kedua orangtuaku. Alhamdulillah, sampai dengan lulus SMP aku selalu menjadi juara paralel seluruh kelas. Hal itulah yang mendatangkan rezeki untukku, karena sekolah memberikan hadiah uang tunai kepada anak-anak yang berprestasi, sehingga aku bisa meringankan beban orangtuaku. Karena prestasiku di SMP, aku berhasil masuk ke SMA terfavorit di Kabupaten Ngawi, yaitu SMA Negeri 1 Ngawi, melalui jalur tes PMDK jurusan Bahasa Inggris. Aku, menjadi 12 orang terpilih yang lolos seleksi dari total 200an pendaftar jurusan Bahasa Inggris pada waktu itu. Biaya sekolahku juga gratis karena aku menerima beasiswa bagi siswa yang tidak mampu. Aku semakin semangat bukan kepalang, aku bertekad untuk terus berjuang hingga aku bisa sekolah sampai dengan taraf Perguruan Tinggi. Aku harus dan yakin pasti bisa.

Berawal Dari Harapan Orangtua…

Sejak aku kecil, Ibu selalu berpesan padaku untuk selalu mengutamakan pendidikan. “Ibu dan Bapak tidak punya modal apa-apa. Modal dan harta Ibu hanya anak-anak Ibu. Biarlah Ibu hanya seorang Ibu biasa, yang tidak punya, tidak berpendidikan, bahkan lulus SD-pun tidak. Tetapi Ibu sangat ingin anak-anak Ibu bisa menjadi orang-orang yang berpendidikan sehingga bisa menjadi sukses kelak”, kata Ibuku di setiap perbincangan antara kami berdua. Motivasi dari Ibu, keinginan untuk mengubah hidup menjadi lebih baik adalah faktor pendorong usahaku yang tidak berhenti. Begitu pun ayah, dengan penghasilan yang tidak seberapa sebagai pegawai swasta, beliau selalu bertekad untuk menyekolahkan anaknya sampai jenjang tertinggi. Mencari pekerjaan lain sana sini, dengan jam istirahat atau tidur yang sangat kurang, ayah tidak pernah mengeluh sedikit pun. Beliau sangat mengharapkan anak-anaknya dapat meneruskan perjuangannya untuk kuliah, yang selalu kandas di tengah jalan, tidak mampu untuk meneruskan studinya karena perekonomian.

Sebagai anak kedua di keluarga, aku paham betul figur seorang kakak. Sempat harapanku untuk dapat bersekolah hingga Sarjana mengalami pasang surut di tengah jalan. Apalagi semenjak kakakku, setelah lulus dari SMK, tidak dapat meneruskan pendidikan karena keterbatasan materi. Namun, aku harus dapat berusaha menjadi lebih baik, pikirku. Aku tidak berhenti. Semasa SMA, aku sangat aktif terlibat di berbagai kegiatan akademik maupun non akademik. Pada tahun 2009 aku sempat dikirim menjadi delegasi Kabupaten untuk seleksi pertukaran pelajar ASEAN. Meskipun gagal, aku tidak menyerah. Beberapa bulan kemudian aku terpilih menjadi salah satu dari satu kontingen putri tingkat kabupaten untuk dikirim ke ajang Raimuna Daerah Jawa Timur 2009. Beberapa bulan kemudian, aku juga sempat dikirim menjadi Duta Kesehatan dan Peer Counselor dari Kabupaten untuk Forum Temu Remaja Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2009. Karena aktifnya kegiatanku, sempat beberapa nilai akademikku turun, yang semula bertengger di posisi pertama atau kedua, menjadi posisi kelima, atau hanya masuk dalam kategori 10 besar. Namun, pengalaman-pengalaman non akademikku-lah yang kemudian ternyata membawaku ke takdir yang lebih baik.

Berkenalan dengan Paramadina Fellowship

Saat itu aku duduk di bangku kelas XI, seorang guru Pendidikan Kewarganegaraan mengajarkan materi tentang Hubungan Internasional. Aku pun merasa tertarik. Pada satu kesempatan melalui telepon, aku bercerita tentang keinginanku berkuliah di jurusan Hubungan Internasional pada ayahku. Beliau lantas langsung mencari informasi tentang beasiswa jurusan tersebut, dan menemukan program Paramadina Fellowship. Kata beliau Paramadina Fellowship akan memberikan akomodasi bagiku selama berkuliah di sana jika aku lolos seleksi, termasuk biaya kuliah, buku dan uang saku untuk hidup. Sejak itulah aku bertekad untuk dapat lolos di program tersebut. Siapa tahu, dari uang saku itu aku bisa menyisihkan untuk adik-adikku, pikirku waktu itu.

Tibalah saat duduk di kelas XII semester akhir, aku pergi ke sana ke mari dan mondar mandir mencari Surat Rekomendasi. Dari guru dan wali kelas hingga kepala sekolah. Semua berkas persyaratan kukumpulkan. Duduk tiga tahun di SMA sebagai redaktur majalah sekolah dan aktif di organisasi sastra ternyata membuatku sama sekali tidak menghadapi kesulitan saat membuat dua buah esai tentang mimpi dan harapan yang dipersyaratkan tim panel Paramadina Fellowship. Semua sertifikat kegiatan non-akademik kusertakan. Hari itu, di bulan April 2011, aku mengirimkan berkas persyaratan Paramadina Fellowship 2011. Dengan harapan yang tinggi, aku menunggu pengumuman seleksi tahap kedua, yang berarti aku harus mengalahkan ribuan orang pendaftar dari penjuru negeri. Sedangkan aku tidak tahu, berapa kuota pasti penerima PF 2011.

Do’a dan Restu Orangtua adalah Mukjizat yang Nyata

Aku selalu berusaha untuk meminta do’a restu ayah ibuku di setiap langkah yang aku putuskan. Termasuk ketika mendaftar Paramadina Fellowship. Dan aku yakin do’a orangtua yang tulus ikhlas akan mengantarkan anaknya menuju kesuksesan. Di bulan Mei 2011, resmi pengumuman tahap 1 Fellowship 2011 dirilis. Namaku masuk dalam daftar 200-an peserta lolos seleksi berkas dan masuk ke tahap wawancara, tes akademik dan tes unjuk bakat. Itu artinya di tanggal 15 Juni 2011 aku harus berada di Surabaya untuk mengikuti tes tersebut. Beruntungnya lagi, Paramadina Fellowship akan mengganti biaya akomodasi perjalananku dari Ngawi ke Surabaya.

Akhirnya, tanggal 14 Juni sore hari, aku berangkat ke Surabaya, di dampingi Ibu dan dua adikku. Adikku ikut karena tidak ada yang dapat mengurus mereka jika ditinggal di rumah. Sedangkan Ibu tidak tega jika membiarkanku sendirian di kota yang belum kukenal. 15 Juni 2011 pagi hari, aku sudah berada di Hotel Plaza Surabaya, menunggu antrian tes tahap 2. Sebelumnya aku sudah meminta restu dan do’a dari ayah dan ibuku. Ibu dan adik-adikku menunggu di luar hotel. Hingga akhirnya ba’da maghrib tes diakhiri, dan Tim Paneal Paramadina Fellowship mengumumkan bahwa pengumuman akhir akan dimuat di website pada tanggal 15 Juli 2011.

Keesokan harinya, saat akan menuju stasiun Surabaya Gubeng dan kembali ke rumah, mendadak penyakit asmaku kambuh di tengah jalan. Aku berjalan terseok-seok di pinggir trotoar. Rasanya nyawaku sudah berada di tenggorokan. Ibuku menahan tangis sambil menuntunku. Sedangkan adik-adikku yang tidak tahu apa-apa hanya nampak kebingungan. Berjalan sejauh 100 meter untuk mencapai stasiun terasa berkilo-kilometer jauhnya. Hingga akhirnya kami selamat sampai stasiun dan menaiki kereta, ibuku memberikan obat asma seadanya, karena kita tidak memiliki cukup saku untuk berobat. Begitu memasuki kereta aku terduduk lemas, mataku rasanya tak sanggup untuk terbuka. Di sela-sela itu aku dengar suara ibuku berbisik, “Bertahanlah Retno, setelah ini kamu pasti bisa. Ibu yakin kamu pasti lolos. Dan pengumuman itu akan jadi kado ulang tahun terindah untuk Ibu”, ulang tahun Ibuku jatuh pada tanggal 15 Juni, yaitu tanggal tesku kemarin.

Sampai di rumah kondisi asmaku sudah membaik, namun seminggu kemudian aku jatuh sakit lagi. Ternyata kali ini aku terkena DBD, dan harus opname. Seminggu sakit DBD tiba-tiba aku harus dirujuk ke Rumah Sakit di Sragen karena kondisi yang sangat kritis. Waktu itu penurunan trombositku hampir tidak memungkinkan bagiku untuk tetap bertahan hidup. Karena perjuangan dan doa dari Ibu dan Ayah, aku menguatkan diri untuk bertahan, dan Allah SWT mengabulkannya, aku masih diberi kesempatan untuk hidup.

Dua minggu kemudian aku pulang ke rumah. Tak lama, tanggal 15 Juli pun tiba, dari Ibukota ayahku menelpon dan memberitahukan bahwa aku lolos menjadi penerima Paramadina Fellowship 2011 jurusan Hubungan Internasional. Ibuku menangis, mensyukuri anugerah dan kenyataan bahwa kini anaknya ada yang bisa bersekolah di jenjang perguruan tinggi, menepis pesimisme bahwa orang miskin tidak mampu kuliah. Membuktikan kepada orang banyak-termasuk tetangga-tetangga di desa-yang pada waktu itu mencemooh orangtuaku, mengatakan bahwa keluarga miskin sepertiku tidak akan bisa menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi.

Di awal September 2011 menjadi sebuah fase dimana aku harus berjuang lebih keras lagi dalam mencapai mimpi. Aku berangkat ke Jakarta, menuju tempat yang akan membesarkan namaku kelak. Beberapa waktu sebelumnya, aku sempat mengirimkan surat pengunduran diri ke UGM. Pada waktu itu-sebelum menerima pengumuman Paramadina Fellowship 2011-sebenarnya aku sudah diterima di UGM sebagai mahasiswa penerima program Bidik Misi 2011 dan daftar ulang. Namun karena sejak awal aku lebih merasa mantap di Paramadina, maka aku memilih untuk mundur dan pergi ke Jakarta. Aku merasa mimpi-mimpi dan harapanku semakin dekat. Harapan dan mimpi itu serasa pekat dan menyesakkan dada. Di sore yang cerah, 3 September 2011, aku berangkat.

11 September 2014

Kawan, kini aku menulis di dalam sebuah ruang berbentuk kotak kaca. Dari sini aku bisa melihat lapangan badminton Universitas Paramadina yang baru. Disinilah tempatku sehari-hari menimba ilmu, menemukan pengalaman hidup dan wawasan yang luas. Tiga tahun sudah waktu berlalu di Jakarta. Suka dan duka sudah pasti ada. Mimpi-mimpi? Ya, mimpi-mimpi masih bergejolak dalam dada. Perubahan terjadi, meski tidak selamanya mimpi-mimpiku dapat langsung terpenuhi. Setidaknya berkat do’a restu dan usahaku, sampai saat ini nilai-nilai akademikku selalu berada dalam kategori sangat memuaskan. Kegiatan non akademikku juga berjalan dengan lancar. Kini, aku masuk dalam kategori mahasiswa tingkat akhir, yang bertekad menyelesaikan skripsi di semester ini.

Meski banyak dari mimpi-mimpiku yang masih belum tercapai-seperti bisa pergi dan belajar di luar negeri-aku tetap bersyukur. Sehari-hari kegiatan kuisi dengan kuliah dan bekerja. Sejak dua tahun lalu aku mendapatkan pekerjaan sebagai guru les privat. Sekarang aku tercatat sebagai mahasiswa magang di salah satu direktorat kampus dan menjadi admin Marketing Officer di salah satu perusahaan Market Place ternama di Indonesia. Meski hampir semua teman-teman Fellowship-ku telah berhasil mengukir banyak berprestasi dan pergi ke luar negeri, masih banyak PR yang harus kukerjakan.

Alhamdulillah, kesibukan kuliah dan bekerjaku, mendapatkan penghasilan yang lumayan dalam menyambung hidup keluarga. Aku bisa membantu meringankan beban ayahku untuk kehidupan, membayar hutang, dan bahkan menyekolahkan adikku yang kini duduk di bangku SMA-ku dahulu. Misiku sekarang adalah memberikan akses pendidikan yang sebaik-baiknya bagi adik-adikku. Mimpi dan harapan masih kusimpan, karena kelak jika sudah waktunya pasti akan datang. Tetapi ingatlah kawan, bahwa semua butuh perjuangan dan do’a. Ingatlah ketika engkau berada di titik terendah, selalu ada alasan untuk berkata pada hati kecilmu, “Janganlah Menyerah”.

Tulisan ini juga didedikasikan atas rasa terima kasih kepada orangtua, kakak dan adik-adikku yang menjadi penyemangat hidup. Serta bagi donor dan tim panel Paramadina Fellowship 2011 yang memberikan kesempatan bagi saya untuk berkuliah. Tak lupa, untuk rekan-rekan seperjuangan, seluruh mahasiswa/i Paramadina Fellowship 2011.

Ikhsani Retnoningtyas, Paramadina Daya Adira Mustika Fellowship 2011, Mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Paramadina 

Categories:   Sosok

Comments

error: Content is protected !!