Kampusgw.com

Menu

Dewi Sartika Masa Kini Dari Cirebon

Halo, namaku Fitri. Fitriyani lengkapnya. Tapi orang-orang di sekelilingku entah mengapa suka sekali memberiku julukan, dari mulai julukan yang unyu-unyu, bahkan yang “amit-amit,” hehe. Aku sih OK saja, selama tak dimaksudkan untuk menghina, aku akan selalu menanggapinya dengan tawa. Oya, sekedar informasi, aku adalah seorang pemimpi. Benar-benar pemimpi sejati. Aku suka tidur, itu benar. Aku suka berkhayal, itu juga sangat benar. Seberapa pemimpinya aku? Mari kita lihat di bawah ini.

Oke, let’s start with my own life. Aku terlahir sebagai anak ketiga dari tujuh bersaudara, dan putri pertama dari keempat anak perempuan yang dimiliki orangtuaku. Ayahku adalah seorang pegawai swasta biasa, ibuku hanya ibu rumah tangga yang setiap hari mengurus rumah dan anak-anak. Sebagai seorang anak perempuan yang lahir dan dibesarkan di kampung, tak banyak yang bisa kuharapkan untuk masa depanku. Di tempat asalku, yakni Cirebon Jawa Barat, ada kebiasaan menjadikan seorang anak perempuan sebagai komoditas untuk di ekspor ke luar negeri untuk di jadikan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Bahkan hal yang demikian itu sangat prestisius di mata masyarakat. Karena profesi TKI amat mudah menghasilkan uang dan membuat kaya raya.

Akan tetapi, tak seperti teman-teman sepermainanku pada umumnya yang hanya berpikir hidup adalah sebuah siklus untuk lahir, tumbuh, bekerja kemudian menikah. Aku punya pikiran lain, aku ingin menjadi seseorang yang lebih dari sekedar seorang wanita yang menjalani hidupnya dengan biasa-biasa. Aku ingin memiliki pencapaian dalam hidup yang mampu membuatku bangga pada diri sendiri, dan juga orang-orang di sekelilingku bangga terhadapku.

Aku punya mimpi yang sederhana namun luar biasa bagi diriku sendiri, yaitu: aku ingin menempuh pendidikan setinggi-tingginya.


Aku Adalah Pengejar Mimpi

Sejak kecil aku sudah mengkhayalkan tentang kehidupan anak kampus, dengan segala dinamika kehidupan cintanya. Wajar saja, karena pada saat itu aku suka sekali menonton tayangan sinetron yang mengisahkan tentang kehidupan anak-anak perkuliahan (saat itu sinetron masih ditayangkan seminggu sekali dengan bintang dan cerita yang lebih berkualitas dibandingkan sinetron sekarang, hehe). Aku tak sabar menjadi dewasa dan segera merasakan kehidupan yang indah tersebut. Semenjak itu aku selalu bermimpi untuk bisa mengecap bangku kuliah.

Akan tetapi, mimpi itu kandas ketika suatu hari, aku berjalan dengan ibuku. Saat itu aku berumur kira-kira sepuluh tahun. Kami melewati sekolah kakak sulungku, Sekolah Pendidikan Pembangunan, yang kemudian berganti nama menjadi SMKN Susukan. Aku bertanya pada ibuku, “kemanakah kakak akan melanjutkan setelah lulus dari sekolah ini nantinya?” Ibuku langsung menjawab, “tentu saja bekerja, emang mau ngapain lagi?”

Ketika itu, aku bagai terhempas dari ketinggian langit dan jatuh dengan menyakitkan di permukaan bumi. Detik itu aku tersadar, bahwa impianku untuk merasakan menjadi anak kuliahan adalah suatu hal yang mustahil. Kakakku yang lelaki saja hanya sampai SMK, bagaimanalah nasibku yang perempuan ini? Sejak kejadian itu, aku merasa harus mengubur impianku dalam-dalam. Karena jika aku terus memimpikannya, maka aku hanya seperti pungguk yang merindukan rembulan.

Ketika lulus Madrasah Ibtidaiyah dan akan melanjutkan ke jenjang Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP), ibuku berkata. “Pit, kamu sekolahnya cukup sampai MTs aja ya. habis itu langsung ke Arab, jadi TKW (Tenaga Kerja Wanita).”

Apa yang diucapkan ibuku adalah hal yang wajar, karena di kampungku tak ada SLTA, hanya ada SMK di mana kedua kakakku bersekolah, itupun letaknya agak jauh. Dan kebanyakan anak gadis di kampungku hanya bersekolah sampai MTs, setelah itu langsung pergi ke luar negeri untuk jadi TKW. Melihat kondisi keluargaku yang pas-pasan, membuatku tak berani berharap banyak. Aku hanya bisa terdiam mendengarkan ucapan ibuku, meski hatiku begitu keras menolaknya. Namun, kakak sulungku yang saat itu telah bekerja sebagai penjahit membesarkan hatiku.“Doakan kakak dapat pekerjaan yang bagus, biar bisa bantu kamu biayain sekolah.”

Ucapan kakakku itulah yang kujadikan sebagai sandaran melewati kehidupanku di Madrasah Tsawaniyah selama tiga tahun. Dengan keyakinan bahwa masih ada harapan untukku melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sementara itu, di sekolah, aku dikenal sebagai anak kesayangan guru. Aku tak menyombongkan diri sebagai orang yang paling pintar di sekolah, hanya saja aku lebih aktif bertanya dan memiliki daya tangkap yang lebih cepat dibandingkan teman-teman di kelasku karena aku suka membaca. Otakku terlatih untuk mencerna sebuah pelajaran karena sudah terbiasa dengan bacaan. Sejak masih di MI aku dikenal sebagai anak yang hobi baca, ke toilet pun membawa buku untuk dibaca, bahkan kertas koran atau majalah yang sudah lusuh terinjak-injak pun aku pungut dan kubaca sebelum kubuang kembali.

Aku sering menjadi tempat bertanya teman-temanku masalah pelajaran. Namun aku menjadi seorang idealis yang tak mau memberi contekan. Aku selalu bersedia mengajari mereka tentang bagaimana sebuah soal dipecahkan, tapi sayangnya teman-temanku tak mau susah berpikir, mereka memaksaku untuk langsung memberikan jawabannya. Sedangkan aku tak mau. Hal ini menciptakan jarak antara aku dan teman-temanku. Aku dipandang sebagai murid pintar kesayangan guru yang tak mau berbagi ilmu, dan seringkali mereka memusuhiku karena selalu menjadi kaki tangan guru untuk menuliskan materi di buku ke papan tulis.

Aku juga mengalami masa puber seperti remaja pada umumnya. Sayangnya aku hanya mampu menyimpannya dalam hati, karena aku bukan tipikal cewek yang suka berdandan ataupun tebar pesona kepada cowok. Akhirnya aku menjadi seorang yang introvert. Asyik dengan duniaku sendiri, karena aku tak mampu mendapatkan teman yang benar-benar cocok denganku. seringkali aku merasa kesepian dan merasa sendirian karena tak memiliki teman yang mengajakku bermain. Aku melarikan diriku pada tumpukan buku, yah, hanya merekalah teman setiaku.

Sejak awal, aku menjadi pusat perhatian guru. Karena aku selalu menonjol dibandingkan teman-temanku yang lain. Tak ragu mengemukakan pendapat, tak segan bertanya jika ada yang tak dimengerti, menjadi orang yang pertama menjawab saat guru melemparkan tanya ke depan kelas. Bahkan aku pernah membawa nama sekolahku menjadi harum saat memenangkan cerdas cermat tingkat kecamatan sebagai juara satu mengalahkan sekolah-sekolah negeri yang menjadi peserta.

Diantara guru-guruku, ada seorang guru wanita bernama Bu Yani Warkoni SE. Aku sering mengobrol dengan beliau mengenai cita-citaku, impianku yang ingin dapat meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Tak disangka, Bu Yani menjadi tergerak untuk membantuku. Ia memintaku membuka sebuah rekening untuk menabung, dan secara berkala beliau memberikanku sejumlah uang guna ditabung supaya bisa digunakan untuk melanjutkan pendidikanku itu. Bu Yani adalah orang yang berperan penting dalam kehidupan pendidikanku. Diantara guru yang lainnya, beliaulah yang paling peduli dan menawarkanku jalan keluar untuk dapat meneruskan pendidikanku.

Sering aku merasa iri pada teman-temanku yang berasal dari keluarga mampu. Masa depan pendidikan mereka terjamin, tanpa meminta mereka telah disediakan fasilitas untuk menunjang pendidikan mereka. Jika hal itu terjadi, aku hanya bisa menangis di dalam kamar. Namun, detik itu juga sebelum airmataku mengering Tuhan mengilhamkan sebuah pemahaman padaku bahwa di dunia ini ada orang yang bisa mendapatkan segalanya tanpa harus bekerja keras, dan adapula yang harus berjuang sekuat tenaga untuk meraih keinginannya.

Menjadi TKI? Oh Tidak, Aku Masih Ingin Sekolah

Menjelang kelulusan MTs, aku gelisah setengah mati memikirkan nasib pendidikanku. Aku tak berani bicara langsung pada ayahku untuk meminta melanjutkan ke SMA. Bahkan tabungan yang diberikan Bu Yani tak cukup untuk membayar uang pangkal sekolah, sedangkan aku tak berani meminta. Kebaikan hatinya membuatku malu untuk mengemis lebih padanya.

Akhirnya aku meminta ibuku untuk menyampaikan keinginanku melanjutkan pendidikan pada ayahku. Bahkan aku rela masuk ke akademi kebidanan dengan masa studi satu tahun dan dijanjikan bekerja setelah lulus agar tak terlalu lama membebani orangtuaku. Aku sudah membayangkan kehidupanku di akademi itu. Menjadi apoteker atau asisten perawat, aku sudah sangat siap. Lalu, ketika ibu menyampaikan keinginanku tersebut pada ayah, ayah hanya diam dengan wajah murung. Saat itu ayahku sedang kesulitan keuangan, maka emosinya cepat naik. Dan saat ibuku menyampaikan keinginanku melanjutkan sekolah, ayahku marah. Dia berujar, “Sudahlah, dia itu suruh saja ke Arab aja dulu baru lanjutin sekolah.”

Ucapan ayahku tersebut sungguh membuatku bersedih dan hilang harapan mengenai keinginanku melanjutkan sekolah. Maka, aku hanya bisa menangis diam-diam dan tetap berdoa semoga Allah membukakan pintu hati ayahku untuk mengabulkan keinginanku melanjutkan sekolah.

Beberapa hari kemudian, ayah memanggilku. Beliau mengatakan bahwa akademi kebidanan yang kuinginkan itu letaknya sangat jauh dari tempat tinggalku, yakni di Kuningan, Jawa Barat. Ayah mengharapkan aku melanjutkan sekolah ke tempat yang dekat dengan rumah. Aku sungguh bersyukur karena hati ayahku telah terbuka untuk mengijinkanku melanjutkan sekolah dan tak lagi memaksaku untuk pergi ke Arab Saudi menjadi TKW.

Selanjutnya, ayah menyerahkan urusan pendaftaran sekolah kepadaku. Maka, aku pun mulai mengunjungi sekolah-sekolah untuk mengajukan berkas pendaftaran. Aku mendaftar ke tiga sekolah, agar jika aku ditolak oleh salah satunya maka masih ada kesempatan diterima di sekolah lain. Alhamdulillah, aku diterima di MAN Model Ciwaringin Cirebon. Salah satu sekolah favorit di Cirebon. Bahkan aku diterima masuk kelas Fullday (sehari penuh) yang menerapkan sistem kelas bertaraf internasional. Namun karena kelas Fullday yang merupakan kelas unggulan itu biayanya dua kali lipat dari kelas reguler, akhirnya ayah meminta pihak sekolah memindahkanku ke kelas biasa. Aku sempat sedih karena hal ini, namun kemudian aku menyadari kemampuan ekonomi keluargaku yang terbatas, ditambah lagi masih ada adik-adikku yang juga butuh biaya untuk sekolah.

Hari pertama masuk sekolah aku bertekad untuk meraih prestasi yang bagus demi membanggakan kedua orang tuaku yang telah mengijinkanku melanjutkan sekolah, dan juga Bu Yani yang telah membantu biaya pendidikanku. Namun,ternyata bersaing dengan anak-anak pintar yang sebagian besar berasal dari sekolah unggulan negeri dari daerahnya masing-masing tak semudah yang kulewati di masa MTs dan MI. Aku tak berhasil mencapai lima besar. Karena sekeras apapun aku belajar, tak mampu menyaingin kepintaran teman-teman di sekolahku yang terbiasa dengan fasilitas pendidikan cukup. Aku lebih gaptek diantara lainnya, dan aku banyak ketinggalan karena sekolah swasta di kampung tak dapat dibandingkan dengan sekolah negeri.

Setiap hari aku pulang pergi sekolah dengan naik angkutan kota (angkot), tapi harus berjalan dulu sejauh tiga kilometer untuk mencapai jalan raya. Kadang pula, jika aku terlambat pulang sedikit saja, maka aku akan kehabisan angkot. Karena angkot di pedesaan hanya ada sampai jam dua siang. Maka jalan kaki adalah alternatif paling memungkinkan untukku. Sebab jika tak kupaksakan, maka aku takkan pernah sampai ke rumah. Tak heran kalau pada masa itu aku menjadi kurus, karena terbiasa jalan kaki melewati empat desa berturut-turut.

Akhirnya, aku melarikan diri ke ekstrakurikuler. Untuk mengobati kekecewaanku yang tak dapat meraih prestasi di kelas. Pelarian diriku ke ekstrakurikuler membuat namaku dikenal oleh semua orang di sekolah. Kelas satu, aku dikenal sebagai Fitri anak teater yang suka tampil dan pernah menyabet juara favorit saat tampil di SMAN Arjawinangun Cirebon pada lomba Kabaret. Kelas dua dan tiga aku lebih di kenal sebagai Fitri anak Buletin. Karena, ekstrakurikuler yang sempat mati suri itu berhasil aku bangkitkan kembali di masa kepemimpinanku sebagai ketua. Bersama kawan-kawanku aku membangun ekstrakurikuler yang bergerak di bidang jurnalistik itu.  Kami berhasil mendapatkan dua buah piala lomba majalah dinding dalam kurun waktu 3 bulan saja. Hal yang sebelumnya tak pernah dialami oleh ekstrakurikuler tersebut. Kontan saja, hal ini langsung membuat Buletin yang semula dipandang remeh menjadi memiliki nama dan bisa bersanding dengan PASKIBRA yang menjadi ekstrakurikuler unggulan di sekolah. Dan aku tak pernah kesepian lagi, semua orang kini mau menjadi temanku. Bahkan kagum atas prestasiku di ekstrakurikuler. Aku pun tak membatasi diriku dalam berteman. Masa-masaku di MAN dapat dibilang indah dan menyenangkan. Semua guru dan murid di sekolah mengenalku sebagai siswi yang telah membangkitkan organisasi yang hampir mati, meski aku tak cantik, tapi aku bisa menjadi teman yang baik dan mau menolong siapa aaja.

Kembali ke impianku. Di tengah segala kesibukanku membangun ekstrakurikuler dan juga sekolah, aku tak pernah lupa tentang impianku untuk kuliah. Aku sungguh ingin kuliah, tapi untuk meminta ke orangtuaku tentu tidak mungkin. Ibuku pernah berkata, bahwa ia hanya sanggup membiayai anak-anaknya sampai SMA. Jika ingin melanjutkan silakan cari sendiri. Apa yang dikatakan ibuku memang logis, empat orang adikku masih membutuhkan biaya banyak untuk sekolah. Sedangkan yang mencari nafkah hanya ayahku seorang, dan kedua kakakku yang telah lulus SMK belum memiliki pekerjaan tetap yang bisa diandalkan.

Pada suatu malam, saat aku naik motor bersama ayah pulang dari rumah teman sehabis belajar bersama. Dengan ragu-ragu aku bertanya padanya. “Pak, sebenarnya aku boleh gak kuliah?”

“Boleh-boleh aja, tapi kan kamu tahu kondisi keluarga kita seperti apa. Bapak cuma pegawai rendahan, gaji Bapak gak cukup kalo harus biayain kamu kuliah. Tapi kalo kamu bisa cari sendiri, gak apa-apa. Orangtua mana yang tak ingin anaknya mendapat pendidikan lebih tinggi? Bapak merestui aja kalau kamu mau kuliah, tapi ya itu kendalanya, Bapak gak bisa janjiin untuk biayain kamu.” Jawab Bapakku.

Aku diam, dalam hati aku berikrar bahwa aku pasti akan mencari cara apapun agar aku bisa kuliah. Keinginan ini demikian kuat bersarang, tekadku untuk melanjutkan pendidikan tak bisa dibendung lagi. Ijin ayah telah kukantongi. Maka kini, saatnya aku berjuang untuk mewujudkan impianku tersebut.


Aku Harus Bisa Kuliah

Sewaktu aku kelas dua, aku pernah melintasi ruang Guru BK bersama kawan-kawanku, di majalah dinding depan ruangannya terpampang foto kakak kelasku yang sedang berpose di depan istana wakil presiden bersama Wapres kala itu Jusuf Kalla. Foto itu ada di dalam poster informasi beasiswa penuh yang diselenggarakan oleh Universitas Paramadina. Aku terpaku memandangi poster itu, mungkin inilah salah satu jalan agar aku bisa meraih impianku. Dalam hati aku bertekad bahwa tahun depan aku pasti akan mendaftar, tahun depan akulah yang akan mengisi foto di poster itu.

Tekad itu tetap kusimpan hingga setahun berikutnya. Ketika aku menginjak kelas tiga, kegelisahan akan nasib pendidikanku kembali mendera, seperti saat aku hendak melanjutkan ke SMA dulu. Berbagai info beasiswa kuikuti dan aku mendaftar di berbagai jalurnya, seperti Bidik Misi, Beasiswa Kementerian Agama dan entah berapa lagi info beasiswa yang kuikuti,  agar aku dapat melanjutkan kuliah. Semua keperluan beasiswa itu aku urus sendiri. Biaya untuk mengurusnya pun aku sisihkan dari uang jajanku. Aku pikir, orangtuaku tak perlu tahu, aku tak ingin merepotkan mereka. Biarlah mereka tahu nanti saja, jikalau aku sudah diterima oleh salah satu program beasiswa tersebut. Paramadina Fellowship 2010 adalah tujuan utamaku, bahkan aku urus semua persyaratannya jauh sebelum UN dilaksanakan. Karena aku ingin fokus UN tanpa harus memikirkan masalah kelanjutan pendidikanku.

Setelah UN selesai dan aku dinyatakan lulus, aku mendapat kabar bahwa aku tidak lolos pada beberapa beasiswa yang telah ku daftar. Aku cukup kecewa mengetahui hal itu, namun ada sebuah harapan muncul ketika aku mendapat konfirmasi bahwa aku lolos ke tahap wawancara Paramadina Fellowship 2010. Aku jalani wawancara dengan hati berdebar-debar. Saat itu aku diwawancarai oleh Ibu Prima Naomi, dosen Manajemen di Universitas Paramadina. Aku ungkapkan apa adanya diriku tanpa sesuatupun yang ditutupi.

Usai wawancara adalah masa penantian yang panjang. Resah tak mampu kutampik, merasuki setiap hariku. Paramadina Fellowship adalah harapan terakhirku untuk bisa kuliah. Karena semua pendaftaran beasiswa yang kukirimkan tak satupun lolos. Termasuk Beasiswa Fullbright dari UNISMA Bekasi di mana aku sempat lolos ke tahap 2 proses seleksi beasiswanya.

Setiap hari aku jalani dengan penuh doa dan harapan agar bisa lolos menjadi salah satu penerima beasiswa di Universitas Paramadina. Dan selama itu pula aku menganggur. Aku sempat berniat bekerja di kota Cirebon sambil menunggu pengumuman beasiswa itu, tapi kakakku menganjurkan agar aku menunggu sampai dapat kepastian beasiswa itu diterima atau tidak. Baru aku melamar kerja. Karena ditakutkan jika aku melamar kerja sekarang maka akan sulit bagiku untuk keluar jika nanti aku dinyatakan diterima. Kuindahkan saran kakakku dan membatalkan niatku untuk melamar kerja.

Maka, untuk menghabiskan waktu, aku membantu bekerja di taylor. Memasang kancing, melipat baju, dan menyetrika baju-baju yang telah selesai di jahit. Dengan upah lima ribu rupiah perminggu. Semakin hari aku semakin gamang, akankah aku lolos mendapatkan beasiswa itu? Dalam setiap tahajud dan shalat hajatku aku berdoa agar Allah berkenan memberiku karunia beasiswa itu. Bahkan aku bersumpah pada diriku sendiri, jika aku tak lolos di Paramadina Fellowship ini, maka aku akan berangkat ke Arab jadi TKW sesuai keinginan ayah dan ibuku dulu. Demi membahagiakan mereka, dan membantu biaya keempat adikku. Itu janjiku.

Beberapa minggu menjelang pengumuman Paramadina Fellowship, aku jatuh sakit. Badanku panas dan hanya bisa berbaring di tempat tidur, dalam sakitku aku berdialog dengan Tuhan. “Tuhan, jika sakitku ini menjadi jalan agar Engkau mengabulkan doaku. Aku ikhlas ya Allah.”

Beberapa hari kemudian aku sembuh seperti sediakala, namun setelah aku sembuh dari sakit. Nenekku yang memang telah sakit keras selama beberapa bulan terakhir meninggal dunia. Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun…. Ini kehilangan berat bagi keluargaku. Namun kami tak ingin terus menangisinya, kami mengadakan tahlilan di rumah selama tujuh hari untuk mendoakan agar nenek tenang di alam sana.

3 Juni 2010. Hari pengumuman Paramadina Fellowship. Pengumumannya hanya bisa dilihat di situs web. Kukayuh sepedaku ke desa sebelah di mana ada warung internet, karena di kampungku belum ada warnet. Namun warnet yang biasanya kukunjungi tutup. Demikian pula dengan dua warnet berikutnya yang kusambangi ternyata tutup juga. Akhirnya setelah lelah mencari aku bisa juga mendapatkan warnet yang buka.

Aku Penerima Beasiswa Paramadina

Segera saja aku buka www.paramadina.ac.id. Di sana tercantum nama-nama penerima beasiswa Paramadina Fellowship 2010. Dan, namaku tercantum di sana! Alhamdulillahirobbil alamin…Tuhan mengabulkan semua doaku. Allah telah mewujudkan semua impianku. Segera ku print agar bisa menunjukkannya pada orangtuaku.

Sesampainya di rumah, aku segera memberitahukan kabar gembira itu kepada kedua orangtuaku. Awalnya mereka tak percaya dan sangsi ada sebuah beasiswa yang memberikan beasiswa secara penuh. Namun, aku tak pernah berhenti meyakinkan ayahku bahwa Paramadina Fellowship memang memberikan biaya kuliah gratis, asrama tempat tinggal dan juga biaya hidup. Sehingga orangtuaku tak perlu keluar uang sepeserpun lagi. Ayahku takut bahwa kelak dia harus mengeluarkan dana lagi untuk membiayaiku, karena sebelumnya tak pernah ada beasiswa di Indonesia yang menanggung semua keperluan hidup penerimanya. Aku hampir saja putus asa untuk meyakinkan ayahku bahwa beasiswa itu benar adanya.

Pada akhirnya, orangtuaku percaya dan mengijinkanku untuk mengambil beasiswa itu. Sehari sebelum keberangkatanku ke Jakarta, orangtuaku mengadakan tahlilan untuk mendoakan kesuksesanku di Jakarta sana. Bahkan ada tetanggaku yang memberikanku sebuah baju batik dengan harapan anaknya akan ikut sukses sepertiku jika aku memakainya. Aku sungguh terharu dengan hal itu. Mungkin, karena aku orang pertama di kampungku yang bisa mendapatkan beasiswa kuliah padahal berasal dari keluarga miskin dan biasa-biasa saja. Di keluarga besarku, akulah orang pertama yang berhasil kuliah, perempuan pula, kedua kakakku pun hanya lulusan SMK. Ini benar-benar anugerah yang luar biasa indahnya.

Dan di sinilah aku sekarang, berdiri mendulang mimpi di tengah hiruk pikuk ibukota Jakarta. Aku sedang mengukir mimpiku yang lain yang sempat terkubur dulu, aku ingin jadi penulis. Penulis yang mampu mencerahkan pembaca. Aku menulis ini, bukan untuk menyombongkan diri atau pamer akan kesuksesanku. Aku hanya ingin berbagi, pada kalian semua. Agar kalian percaya, bahwa mimpi memiliki kekuatan yang ajaib hingga hal yang mustahil bisa saja terwujud jika kita tak pernah berhenti berusaha untuk meraihnya.

Salam sukses selalu! ^_^

*penulis saat ini tercatat sebagai penerima Paramadina Fellowship 2010, dan juga Duta Paramadina Falsafah Agama 2012. Bisa dihubungi via twitter @elfietry atau facebook: El Fietry Jamilatul Insan dan email: el.fietry@gmail.com

Categories:   Sosok

Comments

  • Posted: Apr 27, 2013 09:58

    akhmad syaiful

    sungguh inspiratif, nice share :)
  • Posted: May 3, 2013 09:01

    Fauzi_J

    Nice kak, semangat meraih mimpi. Inspiring me kak. saya juga alhamdulillah kuliah dengan bantuan beasiswa. Semoga cita-cita/mimpi-mimpi kita bisa terwujud kak.
  • mm

    Posted: May 9, 2013 11:17

    Editor

    Terima kasih. Mari sama-sama berjuang ya.
  • mm

    Posted: May 9, 2013 11:17

    Editor

    Terima kasih ya Akhmad. Mari berjuang!
  • Posted: May 21, 2013 10:59

    Tips Manjakan Suami

    Kami di kolej ada buat perbincangan mengenai hal nie baru2 nie. .. sayangnya saya baca tulisan awak nie agak lewat. .. kalau tak saya dah masukkan idea awak dalam presentation kami. . tahniah atas post yg menarik nie..
  • Posted: May 22, 2013 17:13

    artina.tiwi

    Subhanallah jd terinspirasi saat mengalami masa-masa yg sama menanti pengumuman beasiswa...makasih dek pengalamannya,,,semoga kakak juga mengalami hal yg sama. Berbuah manis dlm penantian ikhtiar menuntut ilmu..:}
  • Posted: Jun 10, 2013 19:31

    dwi nia

    subhanallah ! semangat serta perjuangan keras yang membuahkan hasil kaka,membuat saya semakin terinspirasi untuk tetap meraih mimpi masa depan
  • Posted: Sep 12, 2013 21:19

    Fitriyani

    makasih atas semua tanggapannya. percayalah saat kita memiliki mimpi dan berjuang meraihnya maka seluruh alam semesta akan membantu kita mewujudkannya. semangattttt!!! "D

error: Content is protected !!