Kampusgw.com

Menu

Kerja Dulu, Baru Kuliah

Dewasa ini biaya pendidikan semakin melangit. Sulitnya mencari lapangan pekerjaan di tanah air memang memaksa para penduduk untuk bertahan dari jerat kemiskinan. Realita ini tentunya berimbas terhadap kemampuan para orangtua untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan tinggi. Pun, pengangguran sangat tinggi. Tidak hanya di kota, tetapi juga di pedesaan.

Kini, pedesaan di Pulau Jawa semakin merana. Setiap tahunnnya, sawah dan ladang nan subur beralih fungsi menjadi pemukiman, kawasan industri dan pertokoan. Padahal sawah adalah andalah para petani untuk bertahan hidup. Bagi yang kurang beruntung, para penduduk terpaksa menjadi buruh atau tenaga kerja serabutan. Tentunya dengan penghasilan tak menentu. Namun, rakyat Indonesia memang terkenal ulet dan pekerja keras. Di tengah tingginya angka pengangguran, ternyata masih ada segelintir penduduk yang pantang menyerah. Mereka mengoptimalkan potensi di kampung halamannya. Salah satunya adalah di Kabupaten Jepara Provinsi Jawa Tengah. Selain terkenal sebagai tempat kelahiran tokoh inspirator wanita Indonesia, Raden Ajeng Kartini; Jepara identik dengan ukirannya.

Berikut adalah wawancara penulis dengan Fathur Rahman. Putera daerah Jepara ini lahir pada 4 April 1989.

 

Dimana Anda dilahirkan?

Saya lahir di Desa Bugel RT/RW;11/03 Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah 59463

 

Pengalaman di tingkat Sekolah Dasar?

Saya lahir dan besar di kampung kecil. Sulitnya mencari pekerjaan di kampung memaksa penduduk untuk hijrah ke kota besar untuk mengadu nasib, termasuk ayah. Saya sempat mengenyam pendidikan di tingkat dasar ini di Tangerang yang tidak jauh dari ibukota Jakarta. Namun bukan berarti ayah bergelimang harta. Ayah hanyalah seorang “tukang kayu”. Untuk itu, saya tak menyia-nyiakan kesempatan untuk belajar. Sembari bermain bersama teman-teman sebaya, saya terus berusaha untuk mencetak prestasi.

 

Pengalaman di masa SMP?

Saya masih ingat, di masa ini saya mengembangkan minat dan bakat. Ya, sejak SD saya sudah gemar menggambar. Oleh karena itu, di masa ini saya menekuni hobi menggambar dan melukis. Terlebih lagi, anak-anak Jepara selalu terinspirasi oleh para penduduk yang pandai mengukir kayu untuk kerajinan dan mebel/furnitur. Waktu itu saya berpikir “saya harus menjadi maestro melukis/menggambar”. Kelak, saya akan mengembangkan kampung halaman, memajukkannya. Karena nilai akademis yang memuaskan, saya mendapatkan beasiswa.

 

Pengalaman di jenjang SMA?

Di masa ini saya terus mengembangkan bakat dan minat menggambar/melukis. Namun, di jenjang ini saya mulai tertarik dengan ilmu alam, khususnya Fisika. Tak sia-sia pengorbanan, saya dan seorang teman berhasil meraih juara I Olimpiade Fisika Kabupaten Jepara. Beberapa prestasi lain yang cukup menonjol adalah:

  • Ketua Panitia Peringatan Isra Mi’raj (2006)
  • Tukang Ukir Mebel (2006-2007)   
  • Juara 1 Olimpiade Fisika (2006)
  • Seksi Pendidikan OSIS (2007)
  • Siswa Terbaik Metode IQRO (1995)
  • Siswa Harapan terbaik 1 Kegiatan Belajar (1995)
  • Juara 3 Lomba Mewarnai Kaligrafi (1995)

 

Apakah setelah lulus SMA Anda langsung kuliah?

Tidak. Saya lahir dan besar dalam keluarga yang kurang beruntung. Penghasilan ayah sebagai tukang kayu yang tak menentu, tak mungkin dapat membiayai pendidikan hingga strata satu. Setelah lulus SMA, saya memutuskan diri untuk bekerja sebagai tukang kayu, istilah kerennya “pengrajin ukir”. Ya, seni ukir merupakan identitas Jepara. Untuk itu, tidak ada salahnya keputusan ini saya ambil. Sembari bekerja, saya terus memantapkan niat untuk kuliah. Saya tak mau diam. Untuk itu, saya menggali informasi sebanyak-banyaknya, sembari mencari beasiswa dan belajar mempersiapkan ujian masuk ke perguruan tinggi setahun kemudian. Setahun bekerja sebagai tukang ukir, saya mendapatkan pengalaman tiada tara. Saya sadar, “mencari duit itu tak gampang”. Praktik kerja di masyarakat tak semudah yang dibayangkan.

 

Apakah Anda mendapatkan biaya kuliah gratis?

Ya, saya mendapatkan Paramadina Fellowship 2008 jurusan Teknik Informatika di Universitas Paramadina Jakarta. Informasi beasiswa saya dapatkan dari guru di Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP). Dengan semangat membara, saya berjuang mendapatkan beasiswa ini. Tentunya tidaklah mudah. Saya harus meminta surat rekomendasi dari guru dan kepala sekolah. Saya juga harus mengikuti tes wawancara di kota Semarang. Perjuangan lainnya adalah mengikuti ujian seleksi masuk di Universitas Negeri Semarang. Karena tak memiliki karib kerabat dan tiada bekal cukup di Semarang, saya dan teman-teman menginap di jalanan kota semalam suntuk, tepatnya di Simpang Lima Semarang. Sungguh, pengalaman yang tak terlupakan.

 

Apakah Anda menemukan hambatan hidup di Jakarta?

Ya, tentu. Sebagai anak perantau, tidaklah mudah untuk beradaptasi di ibukota. Tantangan pertama adalah komunikasi. Di semester pertama, saya sangat sulit menghilangkan logat bahasa Jawa. Saya sangat malu karena sering ditertawakan oleh khalayak. Tantangan lain adalah pergaulan bebas. Untuk mengantisipasi efek buruk, saya bergabung dengan Dewan Keluarga Masjid (DKM) di kampus.

 

Pernahkan Anda bekerja selama kuliah?

Wah, tentu . . . Saya pernah bekerja sebagai tim proyek pembuatan program bersama dosen. Lumayan, hasilnya dapat saya tabung untuk keluarga di kampung. Saya dan teman-teman juga mendirikan komunitas programmer. Lagi-lagi, lumayan. Kami mendapatkan profit untuk tabungan. Terakhir, saya pernah magang di suatu institusi. Memang, saya tak pernah dibayar selama magang. Namun, saya mendapatkan tawaran kerja dari staf/pegawai di tempat saya magang sebelumnya.

 

Pesan Anda untuk mahasiswa kurang mampu?

Adik-adik, saya juga terlahirkan sebagai orang miskin. Namun, saya tak pernah menyerah. Bangunlah karakter dengan mengikuti organisasi. Janganlah menyerah dan putus asa berjuang mendapatkan beasiswa dan pekerjaan. Ingat, usaha itu hanyalah 30% dari kesuksesan, sisanya adalah doa kepada Tuhan.

Kisah nyata dari Fathur Rahman diatas menunjukkan bahwa “banyak jalan menuju Roma”. Ia membuktikan bahwa anak yang lahir dari keluarga kurang beruntung pun berhak dan mampu mengenyam kuliah. Tentunya dengan niat dan kerja keras: kerja dulu, baru kuliah.

Categories:   Sosok

Comments

error: Content is protected !!