-
Konsultasi jurusan kuliah?
-
Mempersiapkan beasiswa?
-
Ingin sukses berkarir?
-
Atau mengembangkan diri?
Keterbatasan Ekonomi Bukanlah Kendala
Kuliah memang sering diimpikan oleh banyak siswa atau yang baru saja lulus SMA. Saking pentingnya, kuliah dipercaya sebagai ‘eskalator’ untuk menggapai masa depan yang cerah. Karena memang mahal, banyak orang tua yang jauh-jauh hari menabung demi mengantarkan anaknya ke bangku kuliah. Sayangnya, tidak semua lulusan SMA mendapatkan kesempatan untuk mengenyam kuliah. Di tengah kesulitan biaya yang mendera, ternyata tidak sedikit para lulusan SMA yang bisa kuliah dengan perjuangan yang tiada duanya. Salah satunya adalah Zakiyah atau yang lebih akrab dipanggil Eke.
” Tidak ada sesuatu yang lebih luar biasa yang pernah dicapai kecuali oleh mereka yang berani percaya bahwa sesuatu dalam diri mereka lebih hebat dari keadaan lingkungannya”
(Bruce Barton)
Itulah petuah yang selalu diingat oleh Eke, anak terakhir dari 5 bersaudara yang dilahirkan 22 tahun silam. Ia termasuk anak yang dilahirkan bukan dari keluarga bangsawan ataupun pengusaha kaya raya. Eke dibesarkan di tengah kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan. Walaupun demikian, pendidikan menjadi prioritas yang harus diperjuangkan habis-habisan. Semangat untuk berjuang semakin menggebu-gebu sejak usaha orang tuanya bangkrut ketika krisis moneter menerpa Indonesia tahun 1998.
“Bahkan, kami lebih memilih tidak makan daripada tidak punya ongkos untuk ke sekolah dan membayar SPP. Ini contoh nyata ketika suatu saat ibu hanya memiliki tiga ribu rupiah dan dibayarkan uang SPP dengan membatalkan niat membeli beras dan kerupuk ”.
Eke menyadari bahwa jerih payah orang tuanya untuk memperjuangkan pendidikan luar biasa walaupun harus berdarah-darah. Kesadaran itu membuatnya bangkit, bergerak dan berkomitmen untuk tidak sekedar menjadi ‘siswa biasa’. Kesadaran itu dibuktikan dengan prestasi di bidang akademik dan non-akademik sejak SD. Sederet pencapaiannya antara lain juara olimpiade sosial tingkat provinsi, juara kelas tak terkalahkan di tingkat SMP, menjadi pengurus Palang Merah Remaja (PMR), Rohis, dan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) serta segudang kompetisi untuk mewakili sekolahnya.
Dan Batu itu Semakin Berat
Memasuki masa SMA, kehidupan semakin tidak berpihak kepadanya, Sejak itu, Eke harus pontang-panting membiayai sekolahnya sendiri. Ketika awal memasuki SMA, ia sempat menangis karena tidak mampu membeli seragam Batik dan baju laboratorium karena tidak ada uang. Justru karena keterbatasan inilah yang menguatkan tekadnya untuk ‘mencetak sejarah’ di tingkat SMA.
“Saya berfikir keras, bagaimana caranya agar dapat bersekolah. Karena dulu saya sering membantu ibu membuat piscok (pisang cokelat) dan lontong untuk keluarga. Maka saya putuskan untuk berjualan di sekolah, menjajakan piscok dan lontong dari kelas ke kelas. Di tengah hedonisme teman-teman saya yang ribut tentang telepon genggam keluaran baru, ataupun ikut pentas seni di sana-sini, saya harus bagun pagi-pagi ke pasar, menyiapkan dagangan sendirian dan menjajakannya kepada teman-teman”
Jerih payah Eke tidaklah sia-sia. Prestasi di sekolahnya yang memukau mengantarkannya menjadi penerima beasiswa BAZIS DKI, Beasiswa Jakarta dan sumbangan dari guru untuk membantu keperluan sekolah. Bantuan tersebut membuat prestasinya semakin menjadi-jadi. Ia pernah menjabat sebagai ketua keputrian Rohis dan pengurus Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) di tahun pertama dan Ketua OSIS di tahun berikutnya. Bahkan, ia menyabet gelar Siswa Teladan.
Kesulitan Biaya Tetap (Bertekad) Kuliah
Melihat situasi dan kondisi yang ada, sebenarnya nyaris tidak menyisakan harapan Eke untuk kuliah. Apalagi ibunya semakin sakit-sakitan ketika lulus SMA. Namun, ia percaya bahwa Tuhan memiliki cara terbaik untuk menolongnya. Berkat semangat belajar yang membara, ia dinyatakan lolos dari ujian masuk Universitas Indonesia, kampus yang ia idam-idamkan. Akan tetapi, keberhasilan Eke melewati ujian masuk itu justru membawa tantangan baru.
“Rasa senang tiba-tiba lenyap karena mengetahui biaya masuk sebesar Rp. 13 juta dan uang semester sebesar Rp. 7,5 juta. Ya Tuhan, uang darimana saya, untuk beli formulir SNMPTN seharga Rp. 10 ribu saja harus menabung lama”.
Berkat usaha yang tak kenal lelah, Eke mendapatkan Beastudi Etos dari Dompet Dhuafa Republika. Beasiswa tersebut membantu pembiayaan masuk Universitas Indonesia, SPP semester pertama, asrama dan pembinaan gratis selama tiga tahun di kampus. Rasa pesimis karena melihat latar belakangnya sendiri terkadang membuat dia ‘down’. Namun Eke bisa bangkit dari situasi dan kondisi tersebut.
“Kuliah di kampus terbaik di Indonesia tak semudah yang saya bayangkan. Saya sempat merasa minder dengan teman-teman dari berbagai sekolah unggulan dengan prestasi yang beragam. Namun kembali saya meniatkan dalam diri: Saya mau menjadi ‘sesuatu’ di kampus ini. Berprestasi dan Berorganisasi? Siapa takut!”
Waktu kuliah di Universitas Indonesia tidak ia sia-siakan begitu saja. Sejak pagi rutinitasnya dimulai dengan kuliah, siang hari sibuk dengan berbagai organisasi dan sore hari mengajar privat sampai larut malam. Maka tidak mengherankan ketika ia pulang di asrama kampus sudah kelelahan. Walaupun demikian, ia tetap memanfaatkan malam harinya dengan belajar dan mengerjakan berbagai perlombaan.
Menjadi mahasiswa berarti memiliki tanggung jawab sosial yang lebih. Tak hanya fokus pada diri sendiri, tapi senantiasa mampu berbagi. Tahun pertama kuliah, Eke dan beberapa teman memuat sebuah program pemberdayaan masyarakat bernama Sekolah Alam Ciliwung, sekolah mini untuk mengenalkan kecintaan terhadap sungai dan lingkungan kepada anak. Program ini mengantarkannya menjadi juara di Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional XII di Malang, Jawa Timur.
“Aksi mahasiswa bukanlah hal tabu bagi dunia saya. Berbagai Kompetisi juga saya ikuti, Saya menjadi Juara 1 dalam Olimpiade Ilmiah mahasiswa (OIM UI), mendapatkan dana hibah DIKTI, menjadi delegasi Indonesia dalam berbagai konferensi tingkat internasional dan menjadi Juara 2 Mahasiswa berprestasi FKM UI”.
Bagi Eke, berkontribusi sudah menjadi ‘harga mati’ yang tidak dapat ditawar. Terlebih lagi semenjak mengikuti UI Leadership Development Programme, sebuah program pembinaan mahasiswa berprestasi di Universitas Indonesia yang membuatnya sadar bahwa prestasi tidak akan pernah berarti tanpa diiringi dengan kontribusi. Kesadaran tersebut mendorongnya untuk bergabung ke dalam sebuah organisasi tingkat nasional bernama Pergerakan Anggota Muda IAKMI, sebuah organisasi mahasiswa kesehatan masyarakat nasional dibawah pengawasan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI). Kelak, keterlibatan dalam organisasi tersebut semakin mendorongnya mencintai profesi di bidang kesehatan masyarakat.
Eke lulus dari Universitas Indonesia pada tahun 2012. Sosok yang bercita-cita ingin menjadi Direktur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2048 tersebut mengakui bahwa kesulitan selalu datang menghadang. Namun, ia yakin bahwa Tuhan memiliki cara terindah untuk menyampaikan cita-cita tersebut. Ia pun mengutip petuah Anwar Fuadi, penulis novel laris Negeri 5 Menara bahwa manusia dilarang meremahkan impian karena Tuhan maha mendengar.
“Untuk adik-adikku, jangan pernah berhenti bermimpi, Keterbatasan ekonomi bukanlah kendala, itu hanya ujian yang menguatkan jalan kita meraih mimpi-mimpi. Tuhan selalu memiliki cara terindah untuk mengantarkan kita pada harapan-harapan. Seperti kata Dave Mahoney ‘yang penting bukanlah dimana anda berada dahulu, atau dimana anda sekarang, melainkan kemana anda akan tiba’.
Categories: Jurusan