-
Konsultasi jurusan kuliah?
-
Mempersiapkan beasiswa?
-
Ingin sukses berkarir?
-
Atau mengembangkan diri?
Mahasiswa Salju
Perkenalkan, nama saya Andreansyah Dwiwibowo. Orang-orang biasanya memanggil saya Andre. Sedangkan di ijazah nama saya diberi sedikit tambahan menjadi Andreansyah Dwiwibowo, S.Si. Sebuah gelar yang saya terima setelah berjuang selama lima setengah tahun. Di KTP saya tercatat sebagai warga Garut, tetapi kehidupan sehari-hari saya sekarang banyak dijalani di Bandung.
Saya terlahir sebagai orang Sunda. Lahir di Bandung, dibesarkan di Garut, hingga akhirnya setelah dewasa saya kembali ke Bandung. Masa sekolah dari SD hingga SMA saya alami di Garut. Setelah lulus SMA saya ditakdirkan untuk melanjutkan kuliah di Bandung.
Saya adalah mahasiswa S2 di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Gelar sarjana juga saya terima dari UPI. Sebuah perjalanan panjang yang tidak akan pernah saya lupakan. Sebuah proses pendewasaan diri yang tidak mungkin sama dengan pengalaman orang lain. Nanti akan saya ceritakan bagaimana pengalaman kuliah saya. Tetapi sebelum bercerita, saya sampaikan dulu kepada para pembaca bahwa kisah ini bukan kisah motivasi. Saya berharap dengan membaca kisah ini para pembaca lebih berhati-hati dan cerdas dalam menjalani kuliah. Karena kisah ini tidak patut ditiru.
Mahasiswa Salju
Saya ini mahasiswa salju. Begitulah saya menjuluki diri saya sendiri. Salju adalah singkatan dari “salah jurusan.” Saya kuliah di jurusan olahraga padahal minat saya lebih cenderung kepada hal-hal yang berkaitan dengan komputer. Dulu, waktu daftar pun saya tidak benar-benar ingin daftar ke jurusan ini. Sejak kecil saya dilatih olahraga tenis oleh orang tua. Saya merasa tidak ada kemampuan lain yang bisa saya andalkan untuk bisa diterima di perguruan tinggi selain kemampuan olahraga. Jadi waktu itu, saya daftar ke Jurusan Keolahragaan berdasarkan kesadaran diri atas kemampuan yang ada.
Ada tiga jurusan yang berkaitan dengan olahraga di UPI. Saya pilih Ilmu Keolahragaan (IKOR), jurusan khusus IPA. Bukan, bukan karena saya merasa pintar IPA. Akan tetapi karena pendaftarnya memang sedikit. Saya memilih jurusan yang sedikit saingannya. Saya sendiri sejak SMA seharusnya tidak berada di jurusan IPA, dari hasil psikotes saya disarankan untuk masuk jurusan bahasa tetapi saya tetap masuk IPA. Akhirnya saya mencoba mendaftar melalui jalur PMDK. Ketika menjalani tes PMDK, saya hanya satu-satunya pendaftar dengan keterampilan olahraga tenis. Alhamdulillah saya lolos tes dan diterima.
Saya tidak pernah bercita-cita ingin kuliah, apalagi kuliah di Jurusan Olahraga. Jadi, ketika saya daftar ke sini, saya daftar dadakan. Tapi karena sudah ‘terlanjur’, saya jalani saja. Padahal jurusan ini adalah jurusan yang terhitung baru lahir, masih belum jelas arahnya. Banyak mahasiswa dan dosen jurusan lain yang merendahkan jurusan IKOR. Tapi saya tidak peduli toh saya ke sini juga “salju.” Hingga saat itu saya masih merasa “salju.”
Perasaan “salju” itu rupanya berpengaruh terhadap semangat belajar saya. Keterbatasan kemampuan otak dan minat saya yang kurang dalam bidang olahraga dan eksakta membuat saya tertinggal dalam hal akademik. Saya sering mendapatkan nilai jelek dalam beberapa mata kuliah hingga mengharuskan saya mengulang mata kuliah tersebut dan itu memperpanjang masa kuliah saya. Nilai jelek yang saya dapatkan membuat orang tua kecewa dan akhirnya menghentikan aliran dana. Keadaan itu membuat saya mulai berusaha sendiri hingga pernah suatu kali saya tidak bisa membayar SPP dan akhirnya cuti. Akibatnya saya pun semakin tertinggal dari teman saya yang lainnya. Di antara mereka saat itu ada yang sudah mulai PLA (PPL, PLP, atau istilah lainnya).
Keputusan Cuti Kuliah
Keadaan saya diperparah dengan habisnya masa kontrakan. Waktu itu saya sempat kebingungan mencari tempat tinggal. Saya pernah berhari-hari menginap di kost-an teman-teman kuliah, tetapi saya juga tahu diri dan pindah ke tempat lain. Selama masa itu saya sering berada di kampus dan mulai akrab dengan petugas kampus. Akhirnya karena kedekatan saya dengan mereka, saya pun diizinkan untuk tinggal di salah satu gedung kampus.
Keadaan mulai membaik ketika salah satu petugas kampus mengenalkan saya dengan temannya yang memiliki usaha warnet. Saya dipekerjakan di sana dan diberi tempat tinggal di sana. Alhamdulillah, sebuah pekerjaan yang sangat cocok sekali dengan minat saya. Uang yang saya dapatkan dari pekerjaan itu hanya cukup untuk keperluan sehari-hari. Waktu itu saya hanya santai tidak peduli dengan kuliah, bahkan jika tidak dilanjutkan pun tidak masalah bagi saya.
Tetapi ibu tidak ingin saya berhenti. Beliau mengusahakan agar saya bisa lanjut kuliah dan akhirnya saya pun bisa lanjut atas usahanya. Ibu mendorong saya untuk segera menyelesaikan kuliah. Alhamdulillah, di semester itu saya bisa mengikuti sidang proposal dan mulai mengerjakan skripsi.
Masa-masa skripsi tidak menuntut mahasiswa untuk selalu hadir di kampus. Banyak waktu kosong. Di waktu yang kosong itu saya mendapatkan tawaran untuk bekerja di tempat lain. Pendapatan warnet yang kian menurun seiring perkembangan teknologi membuat saya lebih memilih untuk pindah bekerja.
Pekerjaan di tempat baru tidak seperti yang saya kira. Rupanya lebih sibuk. Padahal saya ditawari untuk mengisi posisi staf Teknologi Informasi (TI). Posisi yang saya fikir akan membantu saya dalam menyelesaikan skripsi karena saya akan banyak waktu di depan komputer. Tetapi kenyataannya saya juga merangkap sebagai staf operasional dan staf teknis sehingga banyak aktifitas di luar kantor. Kegiatan yang padat sebagai tuntutan pekerjaan justru membuat skripsi saya terlantar dan membuat saya tidak mampu memenuhi harapan ibu untuk lulus pada semester itu.
Walaupun saat itu saya bekerja, tetapi saya tetap dalam keadaan ‘sulit’. Pendapatan dari pekerjaan baru itu seringkali habis untuk keperluan sehari-hari. Sementara itu semester baru semakin dekat, saya tidak punya tabungan. Ibu sudah tidak bisa lagi mencari pinjaman untuk membayar biaya kuliah. Terpaksa pada saat itu sisa gaji yang ada ditambah dengan pinjaman ke teman-teman kerja, saya gunakan untuk membayar SPP di semester berikutnya.
Di semester itu saya mulai fokus kembali untuk mengerjakan skripsi. Tugas dari kantor mulai terabaikan. Waktu itu saya sudah tidak terlalu mementingkan pekerjaan. Yang penting saya harus segera lulus dan setelah lulus saya akan berhenti bekerja. Di semester itu saya sering pergi ke kampus di sela-sela waktu kerja untuk bimbingan dengan dosen. Fasilitas di tempat kerja saya manfaatkan untuk mengirit pengeluaran. Setiap revisi yang perlu dicetak ulang, saya cetak di kantor, koneksi internet gratis yang tersedia saya gunakan untuk mencari referensi tambahan. Saya mulai terbiasa dengan teguran dari pemilik perusahaan atas kinerja saya yang buruk tetapi saya tidak pernah memperdulikannya. Akhirnya sampailah sampai masa pra sidang hingga sidang dan saya pun lulus. Alhamdulillah. Saya merasa lega karena telah terbebas dari beban kuliah dan saya pun bisa memenuhi harapan orang tua. Tetapi saya juga harus relah meninggalkan pekerjaan saya saat itu.
Pasca S1: Melanjutkan S2 Sambil Menjadi Penjaga Toko
Walaupun masa studi telah selesai, namun saya masih sering berkeliaran di lingkungan kampus. Suatu waktu saya bertemu dengan teman lama yang terkenal pandai. Dalam pertemuan itu dia bercerita bahwa dia sedang kuliah S2 dengan bantuan beasiswa dari DIKTI (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi). Saat itu pula mulai timbul keinginan dalam diri saya untuk melanjutkan kuliah ke jenjang S2. Saya pun mulai mencari info pendaftaran beasiswa DIKTI dan info pendaftaran S2.
Tidak lama setelah wisuda S1, saya mendaftarkan diri sebagai calon mahasiswa S2 dan mengikuti tes yang mereka adakan. Alhamdulillah, saya lolos. Tetapi biaya kuliah S2 terbilang mahal, sedangkan saat itu saya belum dipastikan sebagai penerima beasiswa. Waktu itu muncul niat untuk mundur saja, tetapi orang tua melarang. Akhirnya saya turuti keinginan orang tua dan saya tekadkan untuk kuliah lebih baik daripada S1. Alhamdulillah setelah menjalani kuliah sekitar dua bulan keluar pengumuman beasiswa dan saya resmi terdaftar sebagai penerima.
Kemudahan serta kemudahan datang berkelanjutan. Saat ini saya kuliah sambil bekerja. Pekerjaan yang tidak bergengsi, hanya sebagai penjaga toko. Tetapi pekerjaan inilah yang banyak membantu saya sejak saya mulai kuliah S2. Bukan kebetulan pemilik toko ini adalah teman kuliah S2. Saya menumpang di kostnya, jadi tidak perlu lagi mengeluarkan biaya kost. Selain itu mata kuliah yang kami kontrak sama. Dia memiliki semua buku yang dibutuhkan sehingga saya tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membeli buku. Jadwal jaga toko pun tidak menganggu aktifitas kuliah dan aktifitas di toko tidak terlalu sibuk sehingga saya bisa mengerjakan tugas di sana. Sekarang saya hanya perlu kuliah dengan baik dan berusaha menyelesaikan kuliah secepatnya. Sesuai aturan kampus dan DIKTI serta harapan keluarga.
Pesan saya untuk para pembaca yang saat ini juga sedang berjalan di atas “salju.” Janganlah kalian terlalu lama berada di sana. Cepatlah keluar (lulus, bukan Drop Out. Dari jalan itu, ambil jalan yang benar selanjutnya.
Pada dasarnya tidak ada orang yang salah jurusan. Di perkuliahan S2 ini saya merasakan semangat yang berbeda dengan S1 dulu. Materi perkuliahan lebih mudah terserap. Saya berfikir, jika dulu saya tidak mengambil jurusan IKOR – yang saya anggap salju itu –, maka saya belum tentu diterima di UPI. Jika saya tidak diterima di UPI, saya tidak mungkin kuliah S2 karena saya hanya mendaftar ke satu universitas waktu itu. Seandainya saya lulus lebih awal, belum tentu saya bertemu teman lama itu dan belum tentu saya dapat informasi beasiswa. Bahkan jika saya lulus lebih awal, bisa saja saya terlantar belum mendapatkan pekerjaan karena hingga saat ini masih ada beberapa teman saya yang lulus lebih dulu tapi masih belum bekerja.
Ambil saja hikmah dari setiap peristiwa dan anda akan mendapat pelajaran dari peristiwa itu. Pandai-pandailah mengambil nilai positif karena itu akan membantu anda dalam mengahadapi masalah agar terasa lebih mudah. Insyaallah. Sebagai penutup, untuk hidup yang lebih baik kita harus selalu belajar dari kesalahan. Anda bisa belajar dari kesalahan diri sendiri, bisa juga belajar dari kesalahan orang lain agar tidak melakukan kesalahan yang sama. Nah, itulah kisah saya. Ambil pelajarannya jangan sampai teman-teman mengalami kesalahan yang sama. Waktu adalah sesuatu yang terlalu berharga untuk dibuang dengan melakukan kesalahan.
Andre
Facebook : Andreansyah Dwiwibowo
Twitter : andre_tauladhan
Blog : jurnalnya-andre.blogspot.com
Categories: Jurusan