-
Konsultasi jurusan kuliah?
-
Mempersiapkan beasiswa?
-
Ingin sukses berkarir?
-
Atau mengembangkan diri?
Tiada Menara yang Dapat Dibangun dalam Satu Malam
“Hidup itu tidaklah mudah, banyak hal yang harus dilalui untuk menuju ke”mudah”an seperti yang kita harapkan. Begitu pula hidupku yang serba kekurangan ini.”
Awalnya setelah lulus SMA, aku sangat berniat untuk kuliah di perguruan tinggi yang bonafid dengan harapan dapat melanjutkan impianku menjadi pendidik di masyarakat nantinya. Namun, masalah yang kuhadapi hampir sama dengan pelajar Indonesia lain yang tak mampu melanjutkan kuliahnya karena masalah dana.
Orang tuaku adalah petani biasa yang tinggal di suatu desa kecil di pinggiran kota Kediri. Namun mereka mempunyai motivasi tinggi untuk tetap membiayaiku sampai ke perguruan tinggi. Sampai akhirnya, aku bertekad melanjutkan kuliah di suatu PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) di suatu kota kecil di Jawa Timur dengan alasan biaya kuliah dan biaya hidup yang murah. Di awal pendaftaran masuk, untuk membiayai semua urusan administrasi pembayaran pun aku harus bekerja menjadi tenaga penjual (sales) barang elektronik hampir 2 bulan. “Tak apalah, yang penting aku bisa kuliah” batinku.
Hidup di kota kecilpun ternyata tetap membutuhkan banyak dana. Namanya juga kuliah, aku butuh ini, butuh itu, butuh ini itu untuk memenuhi kebutuhan kuliah dan kebutuhan hidup tentunya. Ada satu prinsip yang untungnya selalu kupegang sampai sekarang, “Tak ada menara yang bisa dibangun dalam satu malam.” Implikasinya, untuk bisa menciptakan menara kesuksesan, aku tidak akan bisa membangunnya dalam satu malam. Aku membutuhkan waktu yang lama dengan bermodal semen yang berupa keuletan, batubata yang berupa kesabaran, dan juga material lain yang berupa doa, usaha, dan optimisme. Dari situ, aku terus saja mendirikan tembok menara kesuksesanku meskipun faktanya aku tidak terlalu pintar jika dibandingkan mahasiswa lain.
Kuliahku harus jalan tapi biaya hidup juga harus kutanggung. Makanya hidupku tidak melulu terfokus pada pelajaran di kampus. Setiap pagi, aku mempunyai jadwal tetap untuk kuliah sampai jam 1 siang. Jam 3 sore aku harus berangkat mengajar anak didikku di SMP sampai petang. Sehabis melepas sedikit lelah, kulangkahkan kakiku untuk berangkat “ngelesi” (member les privat) lagi ke tempat lain sampai jam 9 malam. Agenda rutin itupun harus kulakukan setiap hari agar aku bisa bertahan hidup dan membiayai kuliahku yang butuh banyak dana.
Kuliah sambil ngelesi sudah menjadi “sego jangan” (kebiasaan) bagiku. Hal itu ku lalukan sampai aku naik ke semester 5 hingga akhirnya aku “banting setir” kuliah sambil jualan baju dan kerudung di kampus selama hampir dua bulan. Tak puas rasanya hanya mengandalkan diri sebagai penjual kerudung, akhirnya akupun membuka jasa pengetikan dan printing sendiri sampai saat ini. Pundi-pundi rupiah yang sangat berharga bagi kelangsungan hidup dan kuliahku sampai aku menginjak semester 7 sekarang.
Lantas bagaimana kabar kuliahku yang kutinggal “selingkuh” mencari nafkah sehari-hari? Kuliahku teenyata tetap lancar, aku bukan mahasiswi yang paling pintar di kampus tapi paling tidak prestasiku tidak kalah membanggakan dibandingkan teman-teman yang lain. Aku dapat pergi ke beberapa tempat di luar kota untuk mengikuti debat tingkat nasional, tetap aktif di beberapa organisasi luar kampus yang fokus masalah filsafat dan teologi, aktif di kegiatan aktualisasi gender, pengurus aktif asrama putri kampus dan mendapat IPK di atas 3,5. Yang terpenting adalah suatu kebahagiaan yang tak dapat kutuliskan untuk ukuran seorang anak petani, mengikuti short course di Amerika Serikat.
“Satu hal yang selalu kutanamkan dalam jiwaku bahwa hidup itu harus tetap berjuang karena menara kesuksesan yang bisa dibangun dengan 1 malam.”
Butuh banyak perjuangan yang harus ku lakukan untuk menjadi seorang yang sukses nantinya. Aku yakin, masih banyak hal lain yang siap menyambutku untuk menjadikanku sukses. Menjadi sales barang elektronik, guru les, tutor gender, guru ngaji, tukang print, bahkan menjadi penjual kerudung pun masih terlalu dini untuk menyimpulkan kesuksesanku. Masih ada tantangan-tantangan lain yang menunggu untuk kutaklukkan untuk menjadi pribadi yang sukses. “Maka dari itu, hidup itu terus berjuang, berhenti artinya mati.”
Bagi teman-teman Kampusgw yang ingin korespondensi, berikut adalah kontakku:
Ana Zulianingrum
STAIN Tulungagung, Jawa Timur
Categories: Karir
Posted: Jan 1, 2018 16:49
Yuni
Posted: Jan 2, 2018 13:52
admin