-
Konsultasi jurusan kuliah?
-
Mempersiapkan beasiswa?
-
Ingin sukses berkarir?
-
Atau mengembangkan diri?
Drama Pencarian Beasiswa Duta UNJ
Hey guys and gals! Boleh ya saya kenalan dulu. Halo, nama saya Dery Rovino, panggil saja Dery. Sekarang sih lagi dalam proses menyelesaikan kuliah S1 program studi Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Negeri Jakarta.
Alhamdulillah… Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas ketentuannya saya berhasil menjadi salah satu penerima beasiswa Fulbright–Global Undergraduate Exchange Program. Beasiswa ini diberikan dengan tujuan untuk memberikan kesempatan bagi para penerima beasiswa untuk merasakan berkuliah di Amerika Serikat selama kurang lebih 6 bulan. California adalah negara bagian di mana saya akan dikirim untuk bersekolah. Oh ya, kampus saya di sana nanti namanya Humboldt State University. Kalau boleh mengutip istilah Syahrini, kampus ini pokoknya cetar membahana badai! Mungkin di antara kalian ada yang pernah nonton serial televisi Glee? Nah kampus ini lebih keren dan lebih gede dari McKinley High School.
Kalau ditanya perasaan saya setelah mendapatkan beasiswa itu seperti apa, yang jelas sih bersyukur banget. Kenapa? Karena saya tahu betul bahwa masih banyak sekali orang-orang yang jauh lebih pintar dari saya. Akan tetapi, Tuhan bermurah hati dengan memberikan saya kesempatan untuk berada pada posisi saya sekarang. Ingin tahu bagaimana kronologisnya sampai saya bisa diberikan kesempatan emas ini? Boleh disimak ya cerita selanjutnya.
Dewasa Sebelum Waktunya
Saya ingat betul kejadiannya. Di awal tahun 2000-an, bisnis busana muslim wanita ayah saya (Alm. Dasril Anwar) yang menjadi penopang hidup kami sekeluarga, mengalami musibah kebangkrutan. Beberapa gerai dagang yang beliau miliki hilang satu-persatu. Dari situ, hidup kami sekeluarga – khususnya saya – berputar 180 derajat. Saat itu, ayah saya berusaha menyusun kembali puing-puing usahanya dengan menyewa sebuah toko kecil dipinggir jalan baru Duren Sawit, Jakarta Timur
Nurani saya tergerak saat itu untuk membantu ayah dan keluarga. Jadilah saya membantu ayah menjaga toko tersebut sepulang sekolah. Menyusun barang dagangan, mengelap kaca, mengepel lantai, dan mengibas debu yang menempel di barang dagangan adalah kegiatan saya sepulang sekolah. Saat itu saya masih berumur 14 tahun.
Ya, betul saya banyak mengeluh kala itu. Akan tetapi, situasi semacam itu membuat saya menjadi pribadi yang dewasa. Bukan berarti jadi sok tua atau sejenisnya: saya bisa lebih mengatur waktu antara sekolah dengan bekerja di toko. Mental saya ditempa luar biasa saat itu. Mengapa demikian? Toko ayah saya ini berada tidak jauh dari rumah dan teman-teman bermain saya sering berlalu-lalang di depan toko dan kadang mampir hanya untuk bertanya: “Lo kok dagang, Der?” Belum lagi menghadapi pembeli yang “ngeyel” saat menawar harga. Mungkin menurut mereka anak kecil gampang dibodohi kali ya. Saya sering tertawa sendiri saat mengingat masa-masa perjuangan tersebut karena dengan seluruh proses itu, saya terbentuk menjadi pribadi yang pantang menyerah.
Kuliah Bukan Tujuan
Toko kecil ayah saya tidak berlangsung begitu lama. Kurang lebih 3 tahun setelah dibuka, kami kembali gulung tikar. Tidak begitu jelas alasannya apa, tetapi yang saya tahu saat itu ayah sudah tidak kuat fisiknya untuk berdagang dan saya pun sudah disibukkan dengan kegiatan di SMA. Sejak saat itu, uang gaji ibu saya sebagai guru SMP-lah yang menjadi tumpuan kami sekeluarga.
Menyadari keadaan tersebut, saya bertanya pada diri saya: “Setelah SMA gue mau kemana ya? Kuliah? Lalu biayanya?”. Saat itu saya masih belum berpikir untuk kuliah. Padahal saya sudah duduk di kelas 3 SMA. Saya masih belum tahu mau dibawa kemana diri saya ini. Rasa hati saya ingin bekerja saja karena keluarga membutuhkan sokongan secara finansial. Tapi kerja apa? Keterampilan saya saat itu hanya “mentok” (terbatas) Bahasa Inggris. Mau mengajar? Tidak tahu cara dan di mana harus mengajar. Penuh dengan dilema.
Akhirnya saya bertumpu pada pilihan mencoba menjadi seorang pramugara. Ya biarlah. Kata orang awam, pramugara itu pembantu yang pakai seragam. Pikir saya, yang penting dapat uang – untuk saya dan keluarga. Mulailah saya mencari-cari lowongan pramugara. Waktu itu dibuka lowongan pramugara di Lion Air. Kontan saja, saya masukkan lamaran secara elektronik. Tunggu punya tunggu, tidak ada panggilan wawancara juga sampai saat itu. Yah berarti bukan rejeki.
Nampaknya ibu mengetahui pergerakan saya yang rutin ke warung internet alias warnet. Beliau akhirnya mengetahui niat saya untuk menjadi pramugara.
“Dery ga usah kerja. Insya Allah, mama masih sanggup membiayai Dery.” Suara beliau begitu lirih sehinga melunakkan hati saya yang tadinya bersikukuh untuk bekerja. “Baiklah, Ma. Dery akan kuliah.”
Akhirnya Kuliah Juga
Tiap temu kangen dengan teman-teman SMA, kami selalu bertukar cerita tentang keasyikan dunia baru di kampus kami masing-masing.
“Kuliah dimana lo?”
“Gue Hubungan Internasional Universitas Indonesia nih, hehehe”
“Kalo lo dimana?”
“Gue Fikom Universitas Padjajaran nih. Lo dimana, Der?”
“Ehmmm… Gue… Pendidikan Bahasa Inggris UNJ. (Nada lesu)”
“Wah jadi guru dong? Hahahahaha…”
Saya tidak menyalahkan mereka atas respon tersebut. Buat kebanyakan remaja seumuran saya, berkuliah untuk mendapat gelar “guru” itu udah pilihan paling terakhir banget deh. Katanya kurang keren, gajinya kecil, kerjanya pakai seragam yang sama setiap hari. Gak kece!
Perlu waktu 2 semester bagi saya untuk meyakinkan diri apakah saya akan berkuliah dan mendapat gelar guru atau tidak. Malangnya, saat itu saya memilih untuk mencoba keluar dari kampus Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan mencari peruntungan di kampus lain dengan jalan beasiswa.
Drama Pencarian Beasiswa
Mungkin ada yang pernah dengar beasiswa “Ancora-Khazanah Foundation?” Itu adalah beasiswa pertama yang saya coba untuk mencari jalan keluar dari bayang-bayang ‘menjadi guru.’ Beasiswa ini memberikan kesempatan bagi pelajar SMA untuk berkuliah di Malaysia secara gratis alias full scholarship. Info ini saya dapatkan dari teman saya yang sudah berangkat terlebih dahulu di tahun sebelumnya.
Langsung lah saya coba peruntungan saya di sini. Cerita punya cerita, dari ratusan pelamar, lolos lah saya ke tahap paling akhir (10 besar) dari proses seleksi beasiswa, yaitu wawancara. Wawancara berjalan sangat sangat lancar. Kemampuan saya berbahasa Inggris was wes wos (sangat lancar) dan bersilat lidah sudah saya keluarkan. Akan tetapi, setelah menunggu sekitar 4 bulan (lama banget ya), saya mendapat kabar bahwa saya tidak berhasil. Dari 10 orang finalis, hanya 3 orang yang berangkat.
Kayak ditonjok… Itu sih yang saya rasakan. Bagaimana tidak, saya sudah lihat pintu beasiswa tersebut terbuka didepan mata, tapi entah kenapa pintu tersebut dibanting tertutup di depan mata saya juga. Sejak saat itu, mimpi untuk pindah kampus hanya menjadi mimpi semata.
Mendaftar Beasiswa Itu Bikin Ketagihan
Sejak kegagalan beasiswa Ancora-Khazanah, saya sempat kehilangan gairah belajar. Indeks Prestasi (IP) semester 3 menurun meskipun tidak drastis. Ya, begitulah kalau reaksi orang pada umumnya ketika gagal meraih target. Apalagi, targetnya pindah kampus.
Ya sudah lah, saya cari target lain. Dan kali ini saya tahu betul targetnya: beasiswa! Saya tidak menghitung berapa banyak beasiswa yang pernah saya coba lamarkan dan hampir semuanya tidak membuahkan hasil. Hanya ada satu beasiswa yang saya dapatkan: Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) dari Dikti. Alhamdulilla, itu saja sih yang saya bisa ucapkan.
Gerbang Menuju Amerika Serikat
Saya belum bilang ya kalau saya hobi berkhayal? Ya, saya senang banget mengkhayal tinggi-tinggi. Misalnya: makan malam romantis bersama pasangan di atas menara Eiffel, makan es krim gelato langsung di Italia, dan nonton konser Beyonce secara langsung di Amerika Serikat. “Meuni gelo pisan…” kalau kata orang Sunda. Akan tetapi, saya yakin bahwa mimpi-mimpi itu yang mengarahkan langkah kaki saya ke posisi saya sekarang.
William Arthur Ward dalam kutipannya – If you can magine it, you can achieve it; if you can dream it, you can become it – sudah jelas mengatakan bahwa kalau kalian mampu memimpikan sesuatu, kalian juga mampu meraihnya. Saya saat itu meyakinkan diri untuk mewujudkan salah satu mimpi besar saya: berkunjung ke Amerika entah dengan tujuan apa, dan dengan cara apa.
Mulai deh saya googling kemungkinan-kemungkinan beasiswa ke sana. Maret 2011, saya akhirnya berjumpa dengan situs web resmi AMINEF (American Indonesian Exchange Foundation) yang menjadi media distribusi beasiswa Fulbright di Indonesia. Kulik punya kulik, akhirnya ketemu nih satu beasiswa yang namanya Global Undergraduate Exchange Program. Ini adalah beasiswa non-degree (tidak mendapat gelar) yang bertujuan mengirim mahasiswa-mahasiswa dari beberapa negara untuk berkuliah di Amerika Serikat selama 6 bulan secara gratis. Aha! Muncul bohlam kuning di atas kepala saya seperti di kartun-kartun Disney klasik. Saya harus mencoba beasiswa ini.
Detik itu juga saya unduh formulir pendaftarannya. Saya pelajari peraturan dan persyaratannya, dan keesokan harinya langsung saya coba penuhi apa yang bisa saya penuhi. Tantangan terberat ketika kalian mengisi beasiswa pertukaran pelajar Internasional seperti ini adalah ketika kalian harus menulis beberapa esai yang bernuansa akademik, tapi juga harus menarik dan menjanjikan. Bingung ga tuh? Nah, mulailah saya cari referensi-referensi contoh tulisan esai yang benar seperti apa. “Mbah Google” kembali menjadi sahabat terbaik saya saat itu. Akhirnya dalam waktu 2 bulan, esai saya selesai dan telah di-proofread (direvisi). Nilai TOEFL 570 pun sudah ditangan. Pokoknya sudah percaya diri banget deh untuk mengirim formulir tersebut beserta kebutuhan dokumennya.
Sekitar seminggu sebelum penutupan pendaftaran tanggal 1 November 2012, pihak AMINEF menghubungi saya via email. Mereka bilang kalau ada “kesalahan” pada formulir saya. Seperti ditodongkan pistol ke depan hidung, saya bertanya kesalahannya apa. Ternyata, formulir yang selama ini saya bawa kemana-mana itu formulir versi lama yang hanya butuh 1 esai, sementara formulir terbaru yang dipakai berisi 3 esai.
“Bagaimana menyelesaikan 2 esai lagi dalam waktu kurang dari 1 minggu? Sementara esai sebelumnya saja membutuhkan waktu 2 bulan untuk dibuat dan direvisi.” Pikir saya dalam hati.
Tapi ya sudah lah, kalau memang itu ketentuannya, saya akan jalani. Akhirnya dengan waktu yang tersisa saya kerjakan esai-esai tersebut. Butuh waktu 3 hari untuk menyelesaikan semua esai. Dalam hati saya yakin, 2 esai terakhir tidak maksimal padahal esai tersebutlah yang menjadi “wajah” saya didepan panelis. Dalam hati saya berdoa, “Ya Allah, jika memang ini jalannya, maka mudahkanlah. Amin.”
Dreams do come true, for those who believe in the beauty of their dreams
Proses berkas, proses wawancara, pemilihan nominasi nasional sudah saya lewati. Saat itu, saya satu-satunya mahasiswa dari provinsi DKI Jakarta yang berhasil lolos ke tahap nominasi. Kini tinggal menunggu pukul gong langsung dari Washington DC mengenai siapa yang akan berangkat. Tunggu tunggu… Momen “angka 10” ini pernah saya lewati 1 tahun yang lalu! Memori kegagalan beasiswa Ancora Khazanah membanjiri otak saya lagi! Pertanyaan-pertanyaan seperti “Apakah saya pantas? Apa mimpi ini terlalu besar bagi saya? Lalu kalau gagal, saya harus apa lagi?”
Lalu saya teringat kutipan dari Paul Coelho pada bukunya The Alchemist yang berkata bahwa – If you really want something, the entire Universe will conspire in helping you to achieve it – yang berarti “kalau kamu benar-benar menginginkan sesuatu, seluruh jagad semesta akan membantu kamu untuk meraihnya.” Saya percaya itu. Akhirnya saya kembali memperbaharui keyakinan bahwa saya pasti dan harus mendapatkan beasiswa itu karena saya layak untuk mendapatkannya.
Cukup panjang saat-saat penantian bagi kami bersepuluh – penerima beasiswa. Pengumuman nominasi nasional adalah tanggal 6 Desember 2013 akan tetapi hingga awal April 2013, pengumuman penerima beasiswa pun tak kunjung menampakkan keberadaannya di kotak masuk surat elektronik saya. Kalut, gundah, risau menggerayangi otak saya. Kali ini bukan memikirkan bahwa saya lolos atau tidak, tetapi lebih kepada apa alasan penundaan yang begitu lama ini.
Suatu pagi, pukul 10.05 pada tanggal 26 April 2013. Adit (nominator asal Surabaya) menelepon saya dengan nada panik.
“Der!!! Si Kiki (nominator asal Aceh) sudah terima pengumumannya tuh! Lo udah lihat email belom?”
Rasa nyeri yang sangat tidak enak menghantam jantung saya. Gugup, ya, gugup sekali saat itu. Dengan tangan gemetar saya meraih komputer terdekat di kantor Humas – tempat saya mengabdi sebagai Duta Universitas Negeri Jakarta – lalu mengakses surat elektronik.
Ada 1 email masuk. Dengan tangan gemetar saya arahkan pointer mouse ke kolom inbox. Saya tidak mengerti kenapa dada saya semakin nyeri ketika membuka akun email saya. Satu subyek email terbaca: “PDO 2013 Invitation: Agenda”. Dalam email tersebut memang tidak ada tulisan “congratulations, you are selected as the awardee of the scholarship…” Tidak. Akan tetapi, undangan untuk menghadiri Orientasi Pra-Keberangkatan ke Amerika Serikat di Surabaya sudah cukup menjadi bukti bahwa Saya berhasil mendapatkan kesempatan berangkat ke Amerika Serikat!
Pelajaran Hidup
Saya mohon maaf jika cerita ini terlalu panjang lebar. Pada intinya ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan melalui tulisan ini:
- Sebelumnya, sejak berganti nama dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) menjadi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), UNJ tidak hanya mencetak calon guru, tetapi juga para profesional dibidang lain. Dan, masalah karir itu pilihan kita, tidak selalu sejalan dengan jurusan kita saat kuliah.
- Anda berada di posisi sekarang bukan karena kebetulan. Melainkan, hasil dari apa yang telah anda lakukan sebelumnya.
- Menangis karena gagal itu hal yang manusiawi. Akan tetapi setelah anda puas menangis, coba lagi sebuah kesempatan tersebut dengan pendekatan yang berbeda. Karena pasti ada alasan bagi kegagalan anda sebelumnya dan itu yang harus dihindari.
- Semesta anda bukan hanya langit dan isinya, tetapi juga orang-orang di sekitar anda. Jangan hanya berdoa untuk diri anda, berdoa pula untuk mereka.
- Your dream is beautiful. Let others admire its beauty by putting it into reality.
Mungkin hanya ini yang bisa saya sampaikan untuk saat ini. Jika pembaca memiliki pertanyaan atau pendapat yang ingin disampaikan, bisa menghubungi saya langsung melalui media berikut:
Twitter: @_deryrov
Facebook: Dery Dey Rovino
Line: dery_rov
Blog: deryrov.blogspot.com
Terimakasih atas kesempatannya untuk berbagi. May success be with all of us.
Dery Rovino
Duta Universitas Negeri Jakarta
Penerima Fulbright Global Undergraduate Exchange Program 2013-2014
Categories: Sosok