-
Konsultasi jurusan kuliah?
-
Mempersiapkan beasiswa?
-
Ingin sukses berkarir?
-
Atau mengembangkan diri?
Jika Dia Berkehendak, Maka Jadilah
Assalamu’alaikum sahabat semua, sebelumnya aku ingin memperkenalkan diri, namaku Wahyu Rifa’i Dwi Septian, biasa dipanggil Fay oleh teman-temanku. Aku lahir di Jakarta, 24 tahun yang lalu, anak kedua dari 4 bersaudara yang tinggal di Pamulang, Tangerang Selatan. Ayahku adalah seorang wiraswasta biasa, berjualan apa saja yang bisa dia lakukan, mulai dari makanan kecil (aku sering menyebutnya Pizza Mini) sampai kepada mainan anak-anak yang tidak terlalu mahal. Ayahku adalah penginspirasiku. Ibuku, dia adalah wanita biasa, ibu rumah tangga yang setiap hari hanya berjibaku dengan beres-beres rumah, untuk membantu ekonomi keluarga, dulu ibu biasa mengajar mengaji.
Sahabat, aku ingin dan masih berharap ada “Kugy” yang lain, mengabdikan dirinya terlibat dalam kegiatan pembelajaran anak-anak yang kurang mampu di desa-desa, (sebuah kisah novel yang diangkat menjadi film dengan judul Perahu Kertas). Aku masih berharap ada kelompok KKS (Kuliah Kerja Sosial) lagi yang masih peduli akan lingkungan, pendidikan, kesehatan, dan tidak terbatas pada saat kuliah saja hanya untuk mencari nilai. Aku berharap bisa menjadi orang yang kaya raya, agar bisa membantu setiap anak-anak yang kesulitan mencari pendidikan, pendidikan itu adalah hak asasi manusia, jika pendidikan bagus hanya dibatasi untuk orang yang mampu saja, alangkah timpang dan diskriminasinya sistem pendidikan di negeri ini dan akupun masih berharap adanya Laskar Pelangi seperti filmnya yang pernah tayang, mengejar impian tanpa lelah dan terus berusaha, sesulit apapun itu.
Sekarang, aku ingin berbagi sedikit motivasi, pengalaman kepada kalian semua, para penerima beasiswa dan para calon penerima beasiswa. Benar, hidup ini memang bukanlah seperti di alam dongeng, penuh dengan suka cita dan baik-baik saja. Namun kebalikkannya, hidup ini memerlukan perjuangan, perjuangan untuk apa saja, tidak terbatas hanya untuk mencari beasiswa. Ayah pernah berkata, “Keraslah pada dirimu, maka lingkungan akan melunak kepadamu dan jika kamu lunak pada dirimu maka lingkunganlah yang akan keras padamu.”
Ketika menulis ini aku seperti mengulang kembali perjalanan 7 tahun lalu ketika kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aku bukan anak cerdas yang selalu dapat IP terbaik di kelas, bukan anak yang jenius mengerti semua rumus kalkulus dan algoritma pemrograman saat itu. Tapi aku juga bukan anak yang malas, malas untuk belajar dan mencari informasi. Nilaiku pas-pasan kawan, yang ku syukuri adalah nilai IPK pada saat itu masih cukup untuk mendapatkan beasiswa terbesar yang ada di kampus. Aku mulai berburu beasiswa di saat aku sadar jika ayah pada semester 2 tidak sanggup untuk membayar kuliahku, sekitar 2.3 juta per semester.
“Tapi di dalam hati, aku tahu, aku sangat ingin kuliah, ingin menjadi orang yang berhasil, baik dunia maupun akhirat. Aku ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi banyak orang. Sampai saat ini aku masih ingin menjadi orang yang sukses agar bisa memberikan beasiswa kepada anak-anak yang kurang mampu. Aamiin”.
Selama kuliah aku pernah mendapatkan beasiswa DIPA (program beasiswa kampus), Beasiswa Bank Mandiri, Beasiswa dari PT. LG, dan yang terakhir ketika semester 8 adalah Beasiswa Bank Indonesia. Beasiswa terakhir ini yang nilainya paling besar dibandingkan dengan beasiswa lainnya.
Masih segar dalam ingatan ketika aku harus menahan lapar setiap jam makan siang, sehingga rutinitas itu menjadi kebiasaan dan pada akhirnya aku jadi terbiasa tidak merasa lapar ketika jam makan siang tiba hingga badanku menjadi kurus. Kesibukkanku selain kuliah adalah dengan mengajar privat di berbagai bimbingan belajar sekolah dan ikut organisasi BEM Fakultas.
Mungkin ada yang sama dari kita. Aku seperti tersihir ketika mendengar lagu Laskar Pelangi yang dibawakan oleh Nidji, seperti mendapatkan semangat baru ditengah-tengah kebimbangan, keputusasaan, jika boleh meminjam kata-kata dari film Perahu Kertas, “Menyerah dan Realistis adalah sesuatu yang beda tipis”, namun kita harus tetap memutuskan untuk memilih yang mana. Aku bercerita di sini bukan sebagai orang terbaik, orang terpandai atau tercerdas yang pernah kalian kenal, aku juga bukan peraih penghargaan apa-apa, aku juga tidak memenangkan lomba-lomba besar seperti kebanyakan kalian, tapi aku hanya ingin membagikan sedikit semangat yang aku miliki untuk bisa meberikan inspirasi kepada kalian, semoga.
Beasiswa. Mendapatkannya tidak semudah diucapkan “Aku Mendapat Beasiswa”. Mendapatkan beasiswa tersulit adalah ketika aku berada di semester 6 dan 7, disinilah klimaksnya aku mendapatkan beasiswa dan baru menyadari triknya saat itu. Di saat semester itu, kebutuhan akan uang sangatlah banyak, hampir setiap minggu harus memfotokopi makalah, mengedit ulang dan mem-print ulang. Belum lagi harus bayar ini dan itu, namun semuanya Alhamdulillah telah selesai dan dapat dilewati dengan baik. Sampai pada akhirnya aku rindu melakukan rutinitas itu kembali.
Beasiswa Itu Datang Disaat yang Tepat dan Tak Terduga.
Dari semester 6 ke semester 7, aku harus melewatinya dengan kerja keras setiap hari: mengajar privat, berjualan gorengan yang kubawa dari rumah, dibarengi dengan sambil menyusun skripsi, karena aku berpikir semakin lama aku di kampus, akan semakin banyak membutuhkan biaya. Di saat waktu bayaran telah tiba, aku pada saat itu tidak memiliki uang sama sekali, bahkan penghasilanku dari mengajar privat tidak cukup karena sudah habis untuk keperluan skripsi dan membantu sedikit keperluan sekolah adikku. Beasiswa Bank Mandiri di semester sebelumnya telah habis juga untuk bayar kuliah semester 6 lalu, akhirnya dengan keterbatasan itu, aku mengajukan surat penundaan pembayaran ke universitas. Aku membuat surat itu semalam suntuk lengkap dengan bubuhan materai 6000 yang bertanda tangan orangtuaku. Aku mengajukan penundaan pembayaran sampai 3 bulan ke depan, karena aku yakin bisa membayarnya dari mengajar privat.
Namun, tanpa aku ketahui sebelumnya, karena jalur untuk penundaan pembayaran tidak berlaku lagi dikampus, maka disarankan untuk mengajukan cuti kuliah. Hanya sedih yang kunampakkan dari raut mukaku. Aku bingung, sedih tidak tahu harus melakukan apa lagi, mencari beasiswa tidak mungkin, waktunya pendek dan dibutuhkan cepat, ditengah itu aku berputus asa sedemikian rupa. Di malam harinya aku berdoa, harus kemanakah aku ini jika tidak ada jalan untuk penundaan pembayaran kuliah. Akhirnya aku putuskan untuk meminjam kepada teman-temanku. Aku mengirim SMS mereka malam-malam dengan niatan untuk meminjam uang agar dapat dipakai untuk melengkapi pembayaran kuliah semester ini. Tanpa terlalu mengharapkan pinjaman, aku mencoba kembali esok harinya ke akademik pusat. Jika sebelumnya di akademik fakultas aku ditolak mengajukan penundaan maka mungkin di akademik pusat aku akan diterima, pikirku.
Hari esok pun tiba, pagi-pagi sekali aku sudah berada di akademik pusat kampus, mencoba bertemu pembantu rektor (Purek) bidang kemahasiswaan, karena setahuku dulu mahasiswa-mahasiswa yang ingin mengajukan penundaan pembayaran harus menghubungi Purek tersebut. Aku mengantri di sepanjang lorong gedung rektorat dengan sekitar 11 mahasiswa lainnya, yang juga pada saat itu ingin mengajukan penundaan kuliah. Akhirnya sang Purek-pun keluar dan menerima setiap mahasiswa satu persatu, aku heran semua yang keluar dari ruangan itu berwajah sedih, bahkan ada seorang ibu dengan anaknya (yang kuduga anaknya adalah mahasiswa juga) seperti hilang harapan, ibunya sengaja datang jauh dari Bogor untuk meminta penundaan pembayaran buat anaknya, tapi kelihatannya jawaban yang didapatkan tidak sesuai yang diharapkan. Seperti itulah teman perjuangan orangtua kita, semoga di saat kita menjadi orangtua, anak kita mendapatkan yang lebih baik dari kita dapatkan dulu.
Tibalah giliranku kawan, akupun masuk di ruangan AC yang dingin itu, aku duduk tepat di hadapan Purek tersebut, beliau bertanya, “mau apa kesini?”, aku Cma bisa berkata “mau mengajukan penundaan kuliah pak”. “Kenapa ditunda?” tanyanya kembali, “belum ada uangnya pak”, jawabku dengan suara memelan. “Jadi gini ya dik, sekarang pengajuan penundaan pembayaran ditolak atau tidak diselenggarakan lagi, karena banyak mahasiswa yang pada akhirnya tidak membayar uang kuliah yang ditundanya, jadi saya sarankan kamu cuti kuliah saja sambil mengumpulkan uang buat semester depan”. Aku hanya bisa terdiam membisu, hampir satu menit aku hanya diam, menahan sedih-tangis, “Tapi saya masih ingin kuliah pak”. Beliau hanya mengulang jawaban yang sama dan diakhiri “sudah ya saya ada kerjaan lagi”. “Baik pak, makasih”, jawabku, akupun meninggalkan ruangan itu dengan lesu, tanpa harapan, hanya sedih bercampur kecewa dan juga kesal.
Aku kesal kenapa aku ditakdirkan menjadi orang yang tidak punya. Aku kecewa kenapa peraturannya begitu kaku. Aku masih ingat sampai sekarang, aku pergi meninggalkan gedung rektorat untuk solat Ashar dulu di masjid.
Hari kedua, akupun kembali lagi ke gedung rektorat. Kali ini aku bersama temanku, sebut saja namanya Dimas. Dia memang ingin membantuku ketika aku bercerita tidak dapat mengajukan surat penundaan pembayaran di kampus, “Yaudah sama aku Fay kesananya, insyaAllah boleh penundaan”.
Akupun kembali bersemangat, temanku berkata pamannya ada di bagian orang rektorat, mungkin bisa diandalkan, hari kedua aku bertemu dengan Purek itu lagi, alasan ku kenapa kembali hanya satu “Aku masih semangat ingin kuliah, tidak ingin cuti”. Namun, nihil, sama saja, aku masih dimentahkan dengan jawaban sebelumnya, “Tidak ada penundaan pembayaran”.
Di malam harinya aku berpikir, aku tidak tidur semalaman, sambil sedih mengeluh, aku bingung, akhirnya aku mendapatkan SMS balasan dari teman bahwa dia ingin meminjamkan uang, tapi tidak banyak. Alhamdulillah, setidaknya bisa menambah sedikit uang tabunganku untuk membayar kuliah itu. Akhirnya akupun berniat malam harinya untuk kembali besok lagi mengajukan penundaan pembayaran kuliah, di tempat yang sama dan waktu yang sama juga.
Akhirnya di hari ketiga aku bertemu lagi dengan Purek tersebut. Kali ini aku datang seorang diri sama seperti kedatangan pertama, “saya benar-benar meminta izin Bapak untuk memberikan kesempatan buat saya kali ini saja untuk melanjutkan kuliah pak, karena saya masih semangat menyelesaikan kuliah ini, kekurangannya akan dilunasi menurut surat penundaan ini pak, saya hanya minta 3 bulan saja untuk menunda”, kalimat itu yang kuucapkan kepada beliau. Aku berpikir, jika ketiga kali ini aku ditolak, maka aku harus ikhlas menerima cuti kuliah karena memang tidak punya biaya sama sekali.
Setelah mendengar aku selesai bicara, beliau hanya bertanya dengan sederet pertanyaan panjang, “kamu kenapa tak ada biaya orangtuanya, memang orangtua kamu kerja apa? Kamu anak keberapa? Kegiatan kamu apa saja selain kuliah?”. Aku jawab satu persatu pertanyaan itu, dengan sejujur-jujurnya. Tanpa basa basi beliau hanya memberikan aku sedikit notes setelah sebelumnya beliau menelepon seseorang, diujung telepon sana samar-samar nampak suara seorang wanita. Aku menunggunya menelepon, aku hanya mendengar pembicaraannya “Ibu, masih ada beasiswa gak bu?”, lalu beliau cuma bilang “Oke, ok, oke bu, makasih ya bu”.
Kemudian aku dibuatkan notes dan langsung hari itu juga diminta ke Ruangan Beasiswa universitas, di bagian akademik pusat lantai 2, bertemu dengan seorang Ibu, namanya masih sangat jelas di telingaku, sebut saja Ibu Hanny. Hari itulah pertama kali aku berkenalan dengan Ibu Hanny, seorang Ibu Dosen yang dikenal oleh seluruh pemburu beasiswa di kampus.
Aku hanya berpikir dalam hati, Ya Allah, siapa aku, aku bertemu dengan seorang Ibu yang banyak orang mengejarnya untuk mendapatkan beasiswa. Namun hari ini aku langsung bertemu dengannya melewati puluhan anak yang mengantri di depanku terlebih dahulu. Aku hanya mengucap syukur, Alhamdulillah. Aku tidak akan pernah melupakan hari itu kawan, hari dimana aku seperti berada di ujung tanduk, harus mengambil sikap dan harus kuat dengan apapun keputusan yang terjadi.
Di saat aku bertemu dengannya, beliau hanya bertanya, “kamu Wahyu Ya?”, “iya bu”, jawabku. “Coba Ibu Lihat IPK nya, dibawa gak?”, tanyanya lagi. Sambil gemetaran aku menjawab “mm, bawa ibu, ini bu”. “IPK kamu bagus yu, cukup untuk memenuhi syarat mendapatkan beasiswa ini” sejak saat itulah aku diperkenalkan dengan Beasiswa Bank Indonesia. Beliau menerangkan lagi, bahwa beasiswa ini adalah beasiswa terbesar yang pernah ada di kampus dan kebetulan ada 1 orang yang kosong, karena dia tidak mendaftar lagi untuk tahun ini, setelah dicari ternyata orangnya sudah lulus, akhirnya beasiswa itu jatuh kepadaku, terangnya dengan jelas. “Selain itu karena ibu lihat kamu memang membutuhkannya yu, mungkin ini memang rejeki kamu yu, ibu sudah cari-cari orang pengganti untuk beasiswa ini tapi sampai sekarang belum ketemu, ternyata pak Purek telepon Ibu barusan dan bilang ada yang butuh beasiswa, yaitu kamu, semoga beasiswa ini bisa memacu motivasimu untuk giat belajar lagi ya”.
Sebelumnya aku menceritakan perjalanan kuliahku, nilai-nilai kuliahku, kehidupanku, orangtuaku, pekerjaan mereka, suka duka menuntut ilmu. Namun, yang membuatku meringis lagi, beliau berkata.
“Yu, ibu pernah bertemu dengan seseorang yang jauh lebih kasihan dari kamu, dia seorang wanita lagi, untuk menghidupi dirinya sendiri, dia merantau dari desa ke Jakarta hanya untuk kuliah disini, dia harus puasa Daud, sehari makan, sehari tidak, dia jualan baju ke temen2 kosnya, dia jadi tukang cuci baju teman-temannya, jadi kamu jangan sedih, bahkan kamu harus bersyukur, dengan apa yang ada.”
Ibu dulu seperti kamu yu, pencari beasiswa juga, makanya sekarang ibu ada di sini karena niat untuk membantu mahasiswa seperti kamu ini, yang tak punya biaya tapi masih mau belajar dan semangat. Pesan ibu cuma satu, kalo kamu berhasil nanti, jangan pernah lupain teman-teman yang bantu kamu, mereka ada di dalam kesuksesan kamu yu.”
Aku masih merinding jika mengingat kalimat-kalimatnya ini. Aku sedih kawan, ternyata masih ada yang lebih susah dari aku dan parahnya aku terlalu banyak menyesal dan marah-marah. Momen inilah membuatku kembali tersadar dan membuang semua keluh kesah yang ada, membuang marah-marah yang ada. Tanpa kusadari ternyata teman-teman patungan untuk membantu biaya kuliahku, aku jadi semakin menangis jka mengingatnya, mereka begitu baik padaku, jika aku berlebih suatu hari nanti, aku ingin sekali membalas kebaikan-kebaikan mereka.
Sampai saat ini aku masih ingat betul wajah-wajah Purek, Ibu Hanny dan kawan-kawanku. Terimakasih atas semua kesempatan, perhatian, pengorbanan, yang telah dilakukan. Semoga apa yang dilakukan mendapatkan balasan yang setimpal bahkan lebih dari Allah Ta’ala, Aamiin.
Sampai disini kawan kisah perjalananku meraih Beasiswa Bank Indonesia, bahkan sampai semester terakhir pun aku masih mendapatkannya untuk keperluan skripsi dan wisuda. Alhamdulillah sekarang aku sudah lulus dan bekerja sebagai Software Developer di salah satu perusahaan Software House Di Jakarta.
Tips dariku mencari beasiswa adalah, dengan datang langsung ke akademik pusat, dan Tanya ada beasiswa baru atau tidak, selain itu harus juga disiapkan map beserta berkas-berkas persyaratan beasiswa yang umum diperlukan dan dititipkan ke universitas bagian beasiswa, biasanya anak-anak yang sering mengumpulkan berkas dulu akan lebih diutamakan daripada yang mendadak, dan yang terakhir, tetaplah uptodate degan beasiswa yang ada di kampus ataupun di luar kampus. Selain itu, berdasarkan pengalamanku yang diceritakan diatas, janganlah berharap kepada manusia, berharaplah hanya kepadaNya, jika Dia sudah mengijinkan, maka apa yang tidak mungkin akan menjadi mungkin. Tetaplah fokus, maka “mantra” Man Jadda Wa Jadda akan didapatkannya.
Kamu bisa menemukan aku disini:
Skype: rifaiaja
Blog: fairaanggrekbiru.wordpress.com
Facebook: Wahyu Faira (Wahyu Rifa’i Dwi Septian)
Twitter: rifaiaja
Categories: Sosok
Posted: Dec 30, 2012 05:36
Mujahidin
Posted: Jan 2, 2013 07:10
Agung Setiyo Wibowo
Posted: May 25, 2013 21:28
dendy