-
Konsultasi jurusan kuliah?
-
Mempersiapkan beasiswa?
-
Ingin sukses berkarir?
-
Atau mengembangkan diri?
Menimba Ilmu di Negeri Pamansam
Perkenalkan, nama saya Adi Bayuputra Sarosa, biasa dipanggil Adi. Tepat lima tahun yang lalu, saya mendapat kesempatan luar biasa untuk melanjutkan pendidikan S1 di University of Washington, Seattle, Amerika Serikat. Dalam artikel ini, saya ingin berbagi sedikit mengenai pengalaman tersebut dan mudah-mudahan bisa menginspirasi kawan-kawan Kampusgw.com lainnya untuk mengejar mimpi bersekolah di luar negeri.
Pertama-tama, saya ingin mengajak teman-teman untuk mengenali kota Seattle, “rumah” saya selama 4 tahun saya tinggal di Amerika Serikat. Seattle adalah kota yang tidak terlalu kecil, namun tidak jugalah terlalu besar. Untuk saya, ini merupakan suatu hal positif untuk melepaskan diri dari kejenuhan kehidupan kota besar seperti Jakarta. Kota yang menjadi asal merek-merek ternama seperti Starbucks, Microsoft, Boeing, dan Amazon dikenal sebagai kota hujan di Amerika. Jadi kalau bepergian, saya senantiasa membawa jas hujan, payung, atau paling tidak jaket hoodie.
Kampus University of Washington (UW) sendiri merupakan salah satu kampus ternama di Amerika Serikat. Kompleks kampusnya luas dan nyaman dengan berbagai tanaman dan pepohonan yang membuat UW dikenal sebagai salah satu kampus terhijau di Amerika Serikat. Tiap tahun, UW dipenuhi oleh sekitar 40.000 mahasiswa dari berbagai penjuru dunia.
Kalau saya telusuri ke belakang, saya sudah memiliki mimpi untuk bersekolah di Amerika Serikat sejak kecil. Saya lahir dan bersekolah TK di sana dan ayah saya menamatkan pendidikan S2 dan S3-nya di Amerika Serikat. Jadi bisa dikatakan bahwa keluarga saya sudah berorientasi bahwa ada ilmu dan pengalaman yang bisa didapat dari belajar di negeri Paman Sam yang nantinya akan sangat berguna untuk perkembangan diri sendiri maupun untuk turut berkontribusi terhadap pembangunan bangsa Indonesia. Bagian terakhir tadi menjadi kunci karena orang tua saya selalu mengingatkan bahwa apabila suatu hari nanti saya mendapat kesempatan bersekolah di luar negeri, saya harus bisa mempergunakan ilmu tersebut untuk Indonesia, apapun bentuk kontribusi tersebut.
Saya sendiri memilih untuk mendalami ilmu hubungan internasional di UW. Selama SMP dan SMA saya pernah beberapa kali mengikuti program pertukaran budaya dan summer camp yang membuka mata saya mengenai keberagaman dan kebiasaan asing di luar apa yang biasa saya anggap ‘normal’. Ini menjadi salah satu faktor terbesar saya memilih jurusan hubungan internasional. Saat saya memulai program ini, terus terang saya tidak memikirkan karir apa yang akan saya bangun dengan jurusan ini. Satu-satunya opsi yang saya tahu dari berbincang dengan orang lain adalah untuk mendaftar menjadi diplomat di Kementerian Luar Negeri. Di saat itu, saya tidak terlalu merisaukan ini karena saya yakin pada waktunya saya akan menemukan jalur yang tepat untuk saya.
Belajar Hidup Mandiri & Adaptasi dengan Masyarakat Lintas Budaya
Proses adaptasi dan perubahan gaya hidup yang saya alami saat tiba di Seattle tahun 2009 bukanlah sesuatu yang mudah. Untuk pertama kali dalam hidup, saya tinggal sendiri karena keluarga tinggal di Indonesia, sekitar 22 jam penerbangan dari tempat saya. Ini berarti saya mengurus kesehatan saya sendiri, keuangan saya sendiri, mendisiplinkan diri sendiri, dan mampu menyelesaikan berbagai masalah kehidupan lainnya tanpa bergantung kepada keluarga.
Tentu pada situasi ekstrem, saya tetap mampu menghubungi mereka dan meminta dukungan, namun secara umum ini menjadi saat di mana kemandirian saya diuji. Gaya hidup masyarakat Amerika pun membuka wawasan saya dimana hal dan perilaku yang biasa saya anggap umum atau ‘normal’ menjadi tidak umum lagi dan juga sebaliknya. Hal ini bisa dimengerti mengingat Amerika Serikat adalah negara dengan masyarakat dan imigran dari berbagai penjuru dunia yang membawa budaya dan gaya hidup mereka masing-masing. Sekali lagi, ini menjadi ujian terhadap diri saya sendiri; sejauh mana saya bisa beradaptasi dengan gaya hidup yang berbeda dengan apa yang biasa saya anggap normal.
Satu hal yang saya rasa cukup signifikan dalam membantu proses adaptasi saya dengan segala perubahan yang terjadi adalah adanya role model dan lingkungan yang mendukung. Ketika saya baru tiba di Seattle, saya berkenalan dengan mahasiswa Indonesia lainnya yang sudah lebih dulu tinggal dan belajar di sana. Jadi, bisa dikatakan kalau mereka sudah beradaptasi dengan gaya hidup masyarakat pada umumnya. Saya banyak belajar dari pengalaman mereka, memahami apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan. Karena mereka juga berasal dari Indonesia, pada umumnya mereka juga menghadapi masalah yang sama dengan saya saat tiba pertama kali di Seattle.
Selain itu, saya juga berteman dengan beberapa orang lokal Seattle. Saya berpikir, kalau saya hanya ingin dan akan berada di kalangan orang Indonesia, saya akan tinggal di Indonesia. Tidak perlu jauh-jauh belajar di Amerika Serikat. Saya tahu saya mendapat suatu kesempatan yang tidak dimiliki banyak orang lainnya, jadi saya harus mengambil kesempatan ini untuk belajar sebanyak-banyaknya. Bergaul dengan masyarakat lokal tentu akan memberi saya suatu pembelajaran yang tidak akan saya dapatkan jika saya hanya berada di antara orang-orang Indonesia.
Belajar Berorganisasi
Karena inilah, saya memutuskan untuk tinggal di asrama kampus pada tahun pertama saya. Roommate atau teman sekamar saya berasal dari Guangzhou, Cina, walaupun selama SMA, dia bersekolah di Colorado yang membuat ia lebih memahami gaya hidup pelajar di Amerika Serikat. Teman-teman yang saya temui di asrama sangatlah beragam. Selain mahasiswa lokal, saya berkenalan dengan murid dari Jepang, India, Bolivia, Venezuela, dan berbagai negara lainnya. Saya belajar banyak hal dari interaksi-interaksi ini yang saya rasa secara signifikan telah membentuk karakter saya saat ini.
Seperti sudah saya sebutkan sebelumnya, University of Washington adalah komunitas yang sangat besar. Berbagai aktifitas mahasiswa tersedia di kampus dari hal-hal yang umum kita temui di universitas lainnya seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau apa yang kita sebut sebagai Student Government, hingga komunitas unik seperti Human vs Zombie Club. Bahkan kita bisa mengusulkan pembentukan komunitas baru selama ada dukungan dari minimal 5 mahasiswa lainnya.
Pada tahun pertama, saya bergabung dengan Residence Hall Student Association, atau BEM Asrama yang mengurus aktifitas komunitas dan sosial untuk para penghuni asrama selama satu tahun. Dalam organisasi ini, saya memegang peran sebagai Social Coordinator, bertanggung jawab atas perencanaan berbagai aktifitas yang memastikan para penghuni asrama mempunyai banyak kesempatan untuk keluar dari kamar mereka, berkenalan satu sama lain, dan aktif terlibat dalam segala kegiatan yang tersedia di kampus.
Saya rasa pengalaman ini sangat signifikan terhadap keseluruhan empat tahun saya bersekolah di UW, karena dengan aktif terlibat di organisasi ini saya berkenalan dengan banyak orang lainnya, dari anggota organisasi lainnya, penghuni asrama, mahasiswa baru dan lama, hingga staf dan profesor kampus. Pengalaman ini membuka jejaring saya terhadap komunitas-komunitas lain di UW.
Dua pengalaman organisasi lain yang saya rasa sangat berdampak terhadap empat tahun pengalaman saya berkuliah adalah ketika bergabung di DreamProject dan UW Global Law Brigade. DreamProject adalah suatu inisiatif untuk mendukung kesempatan mendapat pendidikan setinggi-tingginya untuk seluruh anak muda di Seattle. Mengambil peran sebagai “Mentor”, setiap minggu saya mengunjungi satu SMA lokal untuk membimbing dan berdiskusi dengan 2-3 murid mengenai aspirasi pendidikan mereka, menjawab pertanyaan mereka mengenai kehidupan universitas, membimbing mereka dalam membuat rencana masa depan, serta membantu mereka mengisi formulir pendaftaran universitas pilihan mereka.
Saya tertarik dengan konsep program ini yang melihat potensi untuk memanfaatkan peran teman sebaya. Tentu guru dan orang tua menjadi suatu outlet penting untuk mendorong seorang anak untuk mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya, namun pengaruh dari teman sebaya tidak bisa disepelekan. Murid-murid SMA ini hanyalah 1-4 tahun lebih muda dari para mentor, sehingga terciptanya suatu keseimbangan antara komunikasi teman sebaya dan respek terhadap seseorang yang lebih berpengalaman.
UW Global Law Brigade (UW GLB) menjadi pengalaman lain yang meninggalkan kesan mendalam. Organisasi ini memiliki tujuan sosial untuk memberikan dukungan hukum kepada masyarakat pedesaan di negara berkembang yang memiliki berbagai sengketa dan permasalahan namun tidak mampu membayar pengacara. Setelah memperhitungkan segala faktor termasuk biaya, kesiapan penduduk, jarak tempuh, dan faktor lainnya, tim saya ditugaskan ke Panama. Di sana kami bekerja sama dengan pengacara lokal untuk menyusun suatu intervensi hukum kepada sekitar 20 keluarga selama satu minggu. Interaksi dengan masyarakat lokal Panama yang rata-rata tidak bisa berbahasa Inggris mendorong saya untuk melatih kemampuan berbahasa Spanyol saya yang saat itu masih mendasar.
Pengalaman tersebut berkesan karena saya memulai organisasi dari awal. Saat saya pertama mempelajari mengenai organisasi ini, UW GLB sedang tidak aktif karena kurangnya proses regenerasi yang menyebabkan tidak adanya orang yang melanjutkan organisasi ini ketika semua pengurus sebelumnya lulus kuliah. Saat itulah, saya mengambil peran untuk menghidupkan kembali organisasi ini, merekrut anggota baru, menggalang dana dan dukungan, serta memastikan bahwa setelah saya lulus ada mekanisme regenerasi yang lebih baik agar masalah sebelumnya tidak terulang kembali.
UW juga menawarkan berbagai program studi jangka pendek di negara lain. Mereka menawarkan program ini untuk mengajarkan keragaman kepada para mahasiswa sehingga perspektif ilmu mereka tidak hanya bersumber dari Amerika Serikat. Pada akhir tahun kedua, saya mendapatkan kesempatan belajar di Spanyol selama 12 minggu. Program ini ditawarkan oleh profesor kelas Bahasa Spanyol saya setelah saya menunjukan konsistensi kecakapan berbahasa Spanyol di kelas profesor tersebut. Saya belajar di kota Leon, sebuah kota kecil sekitar 4 jam perjalanan dengan mobil dari Madrid, ibukota Spanyol. Di Leon, saya tinggal bersama sebuah keluarga lokal yang tidak mampu berbahasa Inggris, sehingga mendorong saya untuk terus melatih kemampuan berbahasa Spanyol saya.
Seperti ketika saya pertama kali tiba di Seattle, saya harus kembali beradaptasi dengan gaya hidup yang berbeda ketika tinggal 12 minggu di Leon. Contohnya, masyarakat Spanyol pada umumnya memiliki pemahaman yang berbeda dengan masyarakat Amerika mengenai konsep vegetarianisme. Sebagai masyarakat yang menggunakan daging dalam berbagai masakan mereka, orang Spanyol merasa bahwa adanya sayur bersama daging tersebut sudah membuat makanan itu vegetarian. Absennya daging dari menu mereka sepenuhnya adalah konsep yang tidak masuk akal bagi mereka. Sekali lagi, pengalaman ini membuka wawasan saya mengenai keragaman dan beradaptasi dengan gaya hidup yang berbeda; satu keterampilan yang saya rasa akan sangat berguna terutama jika saya akan berkarir di dunia hubungan internasional.
Ilmu Hubungan Internasional Pilihan Saya
Dengan masuk jurusan hubungan internasional, tentu sebagian besar dari kelas-kelas yang saya ambil di UW adalah kelas-kelas hubungan internasional. Contohnya termasuk kelas mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) di Amerika Amerika, Masyarakat Abad-21, Politik Ekonomi Internasional, Politik Ekonomi Pembangunan, dan Migrasi Regional-Internasional. Format kelas-kelas ini cukup umum, di mana sekitar 50-200 murid duduk memperhatikan dan profesor menjelaskan di depan kelas.
Satu hal yang harus saya adapatasi dalam situasi kelas ini adalah gaya belajar. Di mana saat saya SD hingga SMA, saya terbiasa dengan murid mendengarkan dan guru menjelaskan, kini saya didorong untuk berpartisipasi secara lebih aktif. Di banyak kelas ini, profesor sering hanya menjelaskan konsep secara umum kemudian membiarkan para murid untuk mengungkapkan pendapatnya, berdebat, dan berdiskusi. Disini, seorang profesor lebih memegang peran sebagai fasilitator atau moderator.
Gaya belajar ini lebih terpampang lagi di kelas dengan format yang tidak umum. Contohnya, kelas negosiasi simulasi perundingan perdamaian Korea Utara. Di kelas ini, para murid memegang kontrol penuh seberapa mulus atau rusuhnya kelas berjalan. Profesor hanya duduk di belakang mengamati, membantu saat dibutuhkan, dan mengintervensi hanya jika dirasa diskusi sudah menyimpang dari tujuan utama. Selain diskusi, kelas-kelas yang saya ambil selama di UW juga banyak mendorong penulisan esai dan kebiasaan membaca. Saya rasa gaya belajar ini mendorong saya untuk melatih kemampuan mengumpulkan informasi, mengolah informasi tersebut, memformulasikan pendapat, kemudian mengungkapkan pendapat tersebut ke forum dengan cara yang sistematis dan diplomatis. Lagi-lagi, saya melihat keterampilan ini sebagai suatu hal krusial dan sangat berguna untuk karir saya di masa depan.
Kini sudah tepat setahun sejak saya lulus dari UW dan mulai meniti karir untuk masa depan saya. Saya masih melihat pengalaman empat tahun di UW sebagai pengalaman yang sangat berharga karena memberikan saya berbagai pengalaman yang membentuk saya sebagai individual saat ini. Saya telah mendapat kesempatan yang tidak dimiliki oleh banyak orang, sehingga saya mendorong diri saya sendiri untuk memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Saya berharap apa yang telah saya alami dan pelajari bisa dirasakan oleh lebih banyak teman-teman lainnya di Indonesia, terutama karena saya yakin semakin banyak orang yang terdorong untuk menambah wawasan, semakin baik prospek pembangunan Indonesia. Apabila ada keinginan, saya yakin bahwa tidak ada yang tidak mungkin, pasti ada jalan yang bisa membawa teman-teman untuk mencapai tujuan tersebut. Jadi, teruslah bersemangat!
Adi Bayuputra Sarosa
Alumni Hubungan Internasional University of Washington | Facebook | Twitter
Categories: Sosok