-
Konsultasi jurusan kuliah?
-
Mempersiapkan beasiswa?
-
Ingin sukses berkarir?
-
Atau mengembangkan diri?
Perjalanan Belajar Menemukan Diri Sendiri
“You can, if you think you can.” – Norman Vincent Peale
Saya tiba – tiba teringat akan kutipan tersebut ketika diminta menulis tentang pengalaman saya mendapatkan beasiswa dari Putera Sampoerna Foundation. Meski bukan kutipan favorit, saya pikir kutipan tersebut cukup nyata untuk dipercaya bahwa “mindset” memberikan pengaruh besar tentang hal – hal yang bisa dicapai seseorang dalam hidupnya, termasuk perjalanan belajar yang saya alami sejauh ini.
Saya lahir di sebuah pulau kecil yang terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Sebuah pulau yang begitu terkenal dikancah dunia Internasional – dibandingkan dengan nama Indonesia – akan pantainya, kekentalan budaya masyarakat lokalnya, kerajinan seninya, dan pemandangan alamnya. Siapa saja yang pernah berkunjung ke Bali tentu selalu ingin kembali lagi entah untuk menetap atau sekedar singgah. Sebelas tahun silam, saya tidak bisa merasakan betapa beruntungnya saya lahir di sebuah keluarga sederhana dan pernah tumbuh sebagai kaum minoritas.
Saya lahir dari sepasang keturunan Jawa yang mencoba mengadu nasib di daerah Kuta, Bali. Perasaan ingin hidup merdeka dari penjajahan saudara, mengantarkan ayah untuk mencoba peruntungan merantau. Berbekal keahlian menjahit dan memperbaiki kendaraan bermotor membuat ayah mampu bertahan hidup di tanah rantau, hingga akhirnya bertemu Ibu yang saat itu melarikan diri dari tuntutan untuk menikah muda. Namun, tidak lama setelah mereka mengenal satu sama lain, mereka memutuskan untuk menikah. Pada pertengah tahun 1990, perekonomian Bali yang sebagian besar ditopang dari sektor pariwisata terbilang tidak stabil, musim paceklik tidak terelakkan terjadi setelah meletusnya Perang Teluk I. Ibu memberi nama belakang “Purwanti” dengan harapan, bagaimanapun sulit dan kerasnya hidup, semoga saya selalu mampu bertahan dan menjalaninya. Doa inilah yang membuat perjalanan hidup saya sejauh ini terasa sangat berwarna.
Terlahir sebagai anak pertama membuat saya memiliki masa kecil yang cukup menyenangkan. Saya mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup dari orang tua. Namun semua itu terbagi ketika adik pertama lahir saat saya berusia tujuh tahun. Meski saya merasa senang memiliki seorang adik, tuntutan untuk menjadi seorang anak yang rajin, suka membantu, peka terhadap keadaan, mandiri dan cerdas membuat saya tertekan. Saya tidak melihat tuntutan tersebut ada pada teman – teman saya. Terlebih ketika saya tidak mampu memenuhi harapan orang tua. Hal itu kerap kali membuat saya merasa tidak berguna, selalu ingin lari meninggalkan rumah dan menyesali hidup.
“Kalau tidak suka di rumah, pergi saja kemana kamu mau pergi, jangan tinggal disini. Kalau tidak mau capek, mati saja supaya kamu tidak capek.” – ayah
Ungkapan tersebut kerap kali diucapkan ayah ketika memergoki saya malas – malasan di rumah atau bahkan tidak mau membantu meringankan pekerjaan orang tua. Seringkali saya bertanya, “benarkan ayah saya menginginkan saya pergi dari rumah?”, “apakah saya hanya menjadi beban bagi orang tua saya?”, “apakah dengan kematian saya akan mengurangi beban hidup mereka?”. Tak bisa dipungkiri pertanyaan – pertanyaan tersebut seringkali muncul dan rasa sakit pun tak terelakkan.
Rasa sakit itulah yang menghidupkan keinginan untuk pergi merantau. Tidak seperti kebanyakan orang yang pergi merantau untuk mengubah nasib, keinginan merantau justru muncul karena saya tidak mampu menangani tekanan atas berbagai tuntutan dan tanggung jawab yang harus saya emban. Layaknya seorang pecundang, saya selalu ingin pergi dari rumah untuk menghindari berbagai tekanan yang saya rasakan pada saat itu. Namun, saya tidak mungkin meninggalkan rumah tanpa sebuah alasan elegan, terlebih karena hal ini akan sangat menyakiti perasaan Ibu yang begitu menyayangi saya. Begitu pula dengan beragam perasaan “tidak enak” – terutama perasaan bersalah – yang muncul jika saya harus meninggalkan adik – adik. Saya ingin membuktikan bahwa saya mampu bertahan hidup tanpa ayah, meski terasa berat sekali hidup tanpa Ibu. Ibu selalu memberikan kenyamanan dan kebebasan bagi saya, berbeda dengan ayah yang keras dan sangat disiplin dengan berbagai hal.
Dua tahun setelah adik kedua saya lahir, perekonomian Bali betul – betul tergoncang. Bom Bali I yang terjadi pada tanggal 12 Oktober 2002 melumpuhkan sektor pariwisata dan kepercayaan dunia internasional akan Bali yang aman dan damai. Perselisihan antara kaum pendatang dari Jawa dengan pribumi pun tidak terelakkan. Banyaknya wisatawan mancanegara yang menjadi korban menjadi salah satu penyebab merosotnya kunjungan wisatawan mancanegara dan menurunnya pesanan barang – barang dari kulit. Hal ini memberikan pengaruh besar terhadap pekerjaan dan penghasilan ayah. Keuangan keluarga pun tergoncang.
Menurunnya jumlah pesanan membuat ayah kehilangan pekerjaannya sebagai penjahit jaket. Ayah pun bekerja serabutan, bekerja apa saja yang bisa menghasilkan. Ibu pun harus lebih berhemat supaya kami tetap bisa makan setiap hari. Di saat Bali sedang tertatih-tatih membangun kembali sektor pariwisatanya, 1 Oktober 2005 Bom Bali II meledak. Hal ini menjadi pukulan berat bagi ayah. Di saat keuangan keluarga yang belum stabil, awal Februari 2006, satu – satunya tempat kami berteduh dan berlindung, dari panasnya sengatan matahari dan dinginnya udara pada saat hujan, terbelah dua diterpa angin. Syukurnya, tidak ada korban jiwa dalam musibah ini. Ayah menjual barang – barang yang masih bisa dijual untuk memulai pembangunan. Keuangan yang tidak stabil selama tiga tahun ditambah dengan kebutuhan hidup yang semakin meningkat, tidak menyisakan penghasilan untuk ditabung.
Pada saat yang bersamaan saya, yang kala itu sedang duduk di bangku kelas 3 Sekolah Menengah Pertama (SMP), sangat khawatir apakah bisa melanjutkan pendidikan saya ke Sekolah Menengah Atas (SMA)? Hutang yang menumpuk membuat saya ragu. Ayah tidak mengijinkan saya untuk bekerja, karena paham betul bahwa saya tidak memiliki keahlian apapun. Dengan demikian, ayah tetap meyakinkan saya untuk mengikuti tes di sekolah yang saya inginkan. Dalam hal ini, saya sangat menghargai kebebasan yang orang tua berikan. Semoga ada jalan untuk biayanya. “Tuhan akan selalu bersama hambanya yang susah”, kata Ibu. Disinilah titik balik di mana Ibu mendapatkan hidayah untuk meningkatkan kualitas ibadahnya.
Akhir April 2006, saya mengikuti ujian mandiri untuk masuk SMA Negeri Unggulan di Denpasar. Proses seleksi pun berjalan lancar. Saya diterima di salah satu SMA Negeri Unggulan di Denpasar. Beberapa perlombaan yang pernah saya ikuti ternyata menjadi salah satu pertimbangan bagi sekolah untuk menerima saya sebagai salah satu muridnya. Sekolah ini cukup terkenal akan kecerdasan murid yang cukup beragam. Hal ini terlihat dari berbagai prestasi di bidang akademik maupun non – akademik yang tidak pernah absen setiap bulannya. Selain itu, sekolah ini terkenal pula akan mewahnya pergaulan murid – murid yang berasal dari kalangan keluarga menengah ke atas ataupun pejabat. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi saya. Tak disangka sekolah ini begitu memberikan banyak pilihan dan fleksibilitas kepada setiap muridnya. Saya mendapatkan berbagai bantuan biaya pendidikan dari seorang donatur pribadi, pemerintah kota melalui beasiswa untuk murid tidak mampu dan pada akhirnya sekolah memberikan keringanan kepada orang tua saya untuk membayar semampu kami.
Jika kamu tidak terlahir dalam sebuah keluarga yang berkecukupan, setidaknya kamu memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan. – anonim
Pakem inilah yang menjadikan pergaulan di sekolah ini menjadi begitu beragam. Setiap murid memiliki keunikan masing – masing. Saya pun mendalami karakter dan bakat yang ingin saya kembangkan. Saya yang awalnya merasa sangat minder, malu dan direndahkan oleh teman – teman, perlahan berusaha untuk menjadi pribadi yang luwes, bisa bergaul dengan siapa saja, juga menyumbangkan prestasi untuk sekolah saya. Undangan lomba yang tidak henti – hentinya berdatangan ke sekolah, memberikan kesempatan bagi siapa saja untuk ikut serta. Dari sinilah saya merasakan bahwa Bali ini sangat kecil dan hidup saya terlalu disayangkan jika hanya dihabiskan untuk belajar di sekolah. Karena tidak terlalu menonjol di bidang akademis, saya memutuskan untuk terlibat aktif mengikuti beberapa kegiatan ekstrakurikuler dan perlombaan. Hal itu membuat saya harus belajar dan berusaha lebih keras dalam belajar di kelas, mengembangkan diri melalui kegiatan ekstrakurikuler juga berpartisipasi dalam perlombaan.
Terkadang seseorang terlalu terpaku pada sebuah pintu yang telah tertutup, padahal Tuhan telah menyediakan pintu lain yang terbuka untuknya. – anonim
Salah satu perlombaan yang cukup berkesan adalah ketika dua orang teman dan saya mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah di Universitas Airlangga. Perlombaan tersebut memberikan pengalaman kepada saya untuk pergi ke Surabaya, mempresentasikan makalah di hadapan dewan juri. Sekolah mendukung dengan menanggung semua biaya perjalanan dan makan. Presentasi berjalan lancar dan juri memberikan banyak masukan untuk teman – teman dan saya. Meski tidak menjadi juara pada saat itu, perjalanan tersebut memberikan pengalaman baru bagi saya dan sebuah pelajaran berharga akan pentingnya sebuah cita – cita. Tiba – tiba keinginan pergi merantau pun kembali hadir. Perjalanan mengikuti berbagai lomba pun terus berjalan sampai saya lulus, meski saya belum pernah mengharumkan nama sekolah saya.
Pada saat SMA pula saya belajar menjadi pemberontak. Seorang anak yang biasanya menuruti perkataan orang tua, berubah menjadi seorang penjawab. Pertengkaran pun tak terelakkan sering terjadi. Semakin sering dimarahi, semakin sering saya berlama – lama di sekolah mengerjakan tugas, mencari materi atau sekedar menghabiskan waktu menunggu waktu gelap. Saya jarang berkomunikasi dengan ayah bahkan cenderung menghindar. Apalagi ayah sangat menentang ide saya untuk merantau. Sampai pada suatu hari, ayah mengeluh sakit namun saya tidak peduli. Saya lebih memilih tidur daripada merawat ayah lalu terbangun ketika Ibu meminta saya membelikan obat dan terbangun lagi ketika ayah dibawa ke rumah sakit karena ayah sudah tidak sadar, badannya kaku dan dingin. Terlambat setengah jam saja, mungkin nyawa ayah sudah melayang. Hal ini menjadi titik balik bagi saya untuk selalu peduli dengan keluarga terlepas dai segala drama yang terjadi, sekaligus menjadi momen bagi ayah untuk kembali ke Islam.
Setelah sembuh, ayah tidak lagi banyak berkomentar tentang keinginan saya untuk merantau. Ayah kembali mengembalika kebebasan yang pernah ia berikan ketika saya hendak melanjutkan pendidikan SMP dan SMA. Saya sangat bersyukur akan hal ini. Ketika duduk di kelas 3 SMA, saya mulai mencari informasi perguruan tinggi, jurusan, biaya kuliah dan kemungkinan mendapatkan beasiswa melalui BK Sekolah dan tentu saja Mbah Google. Kota besar seperti Jakarta dan Surabaya cukup menantang untuk dikunjungi. Dua kota inilah yang menjadi tujuan utama saya. Saya ingin merasakan tumbuh di kota besar. Setelah mempelajari syarat – syarat pendaftaran, saya mulai mempersiapkan aplikasi. Dalam mempersiapkan aplikasi, saya berkonsultasi dengan banyak orang, dari teman sebaya sampai dosen. Sebisa mungkin saya mengirim aplikasi sesegera mungkin, namun tidak terburu – buru, karena aplikasi yang masuk lebih dahulu akan mendapat prioritas lebih awal. Dua minggu sampai dua bulan kemudian, pengumuman penerimaan pun datang silih berganti. Status pendaftaran saya melalui jalur reguler dinyatakan berhasil, yang artinya status aplikasi beasiswa saya ditolak. Hingga Maret 2009, belum ada kabar baik yang saya terima.
Tidak dapat dipungkiri bahwa saya sangat cemas dengan keadaan yang seolah – oleh tidak berpihak kepada saya. Menghadapi kenyataan bahwa sebagian besar teman – teman sekelas, sudah diterima di perguruan tinggi dan jurusan yang sesuai dengan pilihan mereka, membuat saya sangat terpukul. Saya tentu berbahagia atas keberhasilan teman – teman, namun mengapa perjalanan mereka begitu dimudahkan oleh Tuhan? Rencana apakah yang Tuhan siapkan untuk saya? Sebagian kecil lainnya, setidaknya telah diterima di perguruan tinggi dan jurusan cadangan. Namun demikian, mereka masih terus berusaha untuk diterima di perguruan tinggi dan jurusan pilihan mereka. Melihat semangat mengejar impian teman – teman yang sedemikian tinggi, lantas memecut saya untuk berusaha lebih keras dan gigih lagi. Setelah berusaha maksimal, maka menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan merupakan pilihan terakhir yang bisa saya lakukan saat itu. Tidak ada yang mudah di dunia ini. Semua hal selalu membutuhkan perjuangan untuk mendapatkannya. Tak disangka, Ibu yang selama ini diam, selalu bangun tengah malam untuk melaksanakan shalat malam, mendoakan saya agar perjalanan saya dimudahkan.
Minggu akhir April 2009, salah seorang guru memberikan informasi tentang beasiswa dari Putera Sampoerna Foundation. Penerimaan pendaftaran akan ditutup beberapa hari lagi. Tanpa pikir panjang, saya mengisi dan mendaftarnya. Meski persyaratan yang diminta cukup banyak dan karena ini bukan pendaftaran pertama yang saya persiapkan, tidak butuh waktu lama bagi saya untuk mengerjakannya. Bagian paling penting dalam pendaftaran beasiswa ada pada bagian esai, yang pada saat itu saya konsultasikan kepada seorang guru. Sebulan kemudian, saya mendapatkan undangan untuk mengikuti seleksi tahap selanjutnya di Depok, Jawa Barat. Saya pikir, mungkin ini yang Tuhan persiapkan bagi saya. Seleksi ini berlangsung selama tiga hari, yang terdiri atas seleksi akademis (Matematika dan Bahasa Inggris), wawancara individu dan diskusi kelompok, serta praktik mengajar. Pengalaman mengikuti sebuah seleksi yang paling menyenangkan. Saya bertemu banyak teman yang berasal dari Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Sebulan kemudian, hasil seleksi pun diumumkan. Namun, sepertinya Tuhan ingin menguji saya sekali lagi.
Seminggu setelah pengumuman resmi, saya berangkat ke Surabaya untuk mengikuti seleksi beasiswa Monbukagakuso. Pada saat itulah, Ibu saya menerima kabar bahwa saya mendapat beasiswa dari Putera Sampoerna Foundation. Saya merupakan salah satu dari sepuluh orang yang termasuk dalam kategori cadangan penerima beasiswa. Dengan bertambahnya jumlah donatur membuat Putera Sampoerna Foundation menambah jumlah penerima beasiswa. Saya pun akhirnya resmi diterima program beasiswa tersebut untuk kuliah di Sampoerna School of Education (SSE) yang saat ini telah menjelma menjadi Universitas Siswa Bangsa Internasional (USBI).
Selama kuliah, ada banyak pengalaman yang membuat saya merasa tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Kesempatan magang sebagai pustakawan, asisten peneliti maupun asisten dosen turut mewarnai perjalanan hidup saya sebagai seorang mahasiswa. Begitu pula dengan kegiatan mahasiswa yang tidak ada habisnya cukup menambah drama kehidupan saya. Empat tahun yang awalnya terasa sangat lama berlangsung begitu cepat. Rasanya baru kemarin baru menginjakkan kaki ke Jakarta. Tiba – tiba saya bersama puluhan mahasiswa lainnya berkumpul di gedung Sampoerna Strategic Square untuk mengikuti upacara wisuda. Bagi saya, tetap saja ini bukanlah perjalanan yang mudah, tetapi sangat berharga karena peluang mengembangkan diri begitu terbuka lebar di kota ini. Bagi saya, Jakarta juga mendidik saya untuk menjadi pribadi yang lebih kuat, tidak mudah menyerah dengan mimpi dan kehidupan saya.
Selepas lulus kuliah, saya langsung bekerja di sebuah Sekolah Nasional Plus di kawasan Jakarta Utara. Setelah mencoba bekerja selama satu tahun di Jakarta, saya memutuskan untuk pulang, tinggal kembali bersama keluarga juga berkontribusi untuk Bali. Ada begitu banyak perubahan yang tidak saya saksikan secara langsung terjadi di rumah. Saya rindu bertengkar dengan adik – adik, berebut makanan dengan ayah dan mendengarkan keluh kesah Ibu. Sembari terus belajar untuk menjadi seorang pendidik yang baik di sebuah sekolah terhijau di dunia (US Green Building Council’s Centre, 2012), saya mencoba menikmati hidup dengan membiarkan arus mengalir kemanapun riak membawanya.
“Tuhan tidak akan memberikan cobaan yang melebihi kemampuan hambanya.” – Al Insyirah
Ungkapan tersebut benar adanya. Musibah datang dan pergi membuat kami semakin mengenal satu sama lain. Hal ini juga membuat kami untuk semakin memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas hidup serta ibadah. Semoga hidup kami semakin berkah bagi keluarga dan juga orang lain.
Denpasar, 6 Desember 2014
Dian Eki Purwanti
Penerima Beasiswa Putera Sampoerna Foundation
Alumni Universitas Siswa Bangsa Internasional (USBI) Jakarta
dianekipurwanti@gmail.com
radianekipur.tumblr.com
@radianekipur
Categories: Sosok