-
Konsultasi jurusan kuliah?
-
Mempersiapkan beasiswa?
-
Ingin sukses berkarir?
-
Atau mengembangkan diri?
Profesiku: Kisah Seorang Perwira Pelayaran Niaga
Perkenalkan, nama saya Cahya Fajar Budi Hartanto, biasa dipanggil Fajar. Saya lahir di Semarang, 12 April 1982 dari keluarga yang sederhana dan besar di salah satu sudut perkampungan kota Semarang. Sama seperti kebanyakan anak di kampung tempat tinggal saya, sayapun bercita-cita untuk menjadi lebih sukses dari orang tua saya. Masa kecil saya penuh bayangan, suatu hari kelak saya akan bekerja dengan pakaian seragam seperti polisi atau tentara.
Seiring dengan berjalannya waktu, tahun 2000 saya lulus dari SMA dan harus memutuskan untuk melanjutkan kuliah. Saat itu saya dihadapkan pada keinginan menempuh studi keguruan tapi dilarang oleh ayah dengan alasan sama dengan profesi beliau dan keinginan ibu yang bekerja sebagai perawat agar saya menjadi dokter. Tapi menurut saya itu di luar kemampuan saya.
Sebagai lulusan dari SMA favorit di kota Semarang, ujian masuk PTN seolah memaksa saya untuk memilih jurusan yang juga favorit pada masa itu, Arsitektur. Namun, setelah saya telusuri lebih lanjut ada biaya yang cukup besar dan saya tidak mau merepotkan orang tua saya sehingga meskipun sudah lolos tes, saya tidak melanjutkan tahapan berikutnya.
Pada bagian awal kisah ini, saya ingin menggaris bawahi satu hal yang cukup penting saat menentukan pilihan kuliah, yaitu galilah sebanyak mungkin informasi terkait jurusan yang akan kita tuju, sekali salah memilih maka akan fatal akibatnya. Informasi bisa diperoleh dari perguruan tinggi atau fakultas yang dituju atau dari kakak kelas yang sudah lebih dulu menempuh studi di sana. Dengarkan juga pertimbangan orang tua meskipun tidak harus menuruti 100% keinginan mereka jika itu kita sadari tidak sesuai passion kita.
Kisah berlanjut, dimana akhirnya aku memutuskan untuk masuk ke Akademi Pelayaran Niaga Indonesia (Akpelni). Ini bermula dari obrolan dengan ayah saya yang mengingatkan saya pada kegagalan saya saat mendaftar ke SMA dengan gaya pendidikan ala militer tahun 1997 silam. Memori itu bak gayung bersambut ketika saya mencoba datang ke Akpelni, saat saya melihat mahasiswa (di kampus ini disebut Taruna) yang berjalan tegap dengan seragamnya yang gagah, mengingatkan saya pada angan-angan di masa kecil saya dulu. Tidak berpikir panjang, saya sampaikan keinginan saya pada orang tua yang tentu sangat kaget mendengar bahwa anaknya akan menempuh pendidikan sebagai seorang calon perwira kapal niaga yang harus bekerja jauh dari keluarga. Tapi tekad menjadi Taruna tidak bisa dibendung lagi dan proses pendidikan saya jalani dengan restu orang tua.
Pendidikan di Akpelni tergolong keras bagi saya terutama pada masa pembinaan fisik dan mental yang harus dijalani sebelum masuk dalam rangkaian proses perkuliahan. Seringkali saya merasa ingin menyerah, tapi setiap kali rasa itu muncul, setiap kali itu pula saya ingat perjuangan orang tua saya dalam mempersiapkan biaya studi dan saya hadirkan bayangan membahagiakan mereka setelah selesai kuliah. Itulah motivasi terbesar saya dalam menjalani hari-hari perkuliahan saya yang sarat dengan disiplin super ketat ala militer.
Meskipun Akpelni memang kampus sipil tapi untuk menggembleng mental tarunanya, mereka menggunakan Instruktur dari TNI AL dan juga Kepolisian. Hal ini sangat bisa dimaklumi karena dunia kerja lulusan Akpelni nantinya di laut atau sektor kemaritiman yang menuntut kehandalan dalam menghadapi banyaknya tantangan. Sekilas saya akan jelaskan tentang almamater saya sebelum berlanjut ke kisah profesi saya setelah lulus dari kampus ini.
Akpelni adalah pendidikan tinggi vokasi yang berdiri sejak 17 September 1964 dan dikelola oleh Yayasan Wiyata Dharma. Ada 3 program studi yang ketiganya sudah mendapat Akreditasi dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) dengan predikat B yaitu Nautika, Teknika, dan Ketatalaksanaan Pelayaran Niaga dan Kepelabuhanan (KPN). Program studi Nautika mengajarkan tentang bagaimana bernavigasi dengan efektif dan efisien dalam membawa muatan atau penumpang menggunakan sarana transportasi laut yaitu kapal niaga. Program studi Teknika mengajarkan tentang permesinan kapal niaga termasuk pengoperasian, perawatan, dan perbaikannya sehingga menunjang keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan laut. Program studi KPN mencetak tenaga sektor maritim yang bekerja di darat, (shore-based), seperti di perusahaan pelayaran, keagenan, asuransi, ekspedisi muatan, pergudangan, dan masih banyak instansi terkait pengelolaan pelabuhan dan pengoperasian kapal. Program studi Nautika dan Teknika juga memiliki pengesahan (Approval) dari Kementerian Perhubungan melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Hal ini karena selain bergelar Ahli Madya dengan ijazah D-III, lulusan kedua program studi tersebut juga diberikan sertifikat kompetensi profesi sebagai Ahli Nautika Tingkat-III atau Ahli Teknika Tingkat-III. Pendidikan dilaksanakan 4 semester di kampus (untuk KPN 5 semester) dan 2 semester di kapal (untuk KPN 1 semester di perusahaan atau instansi terkait), tentunya dengan kurikulum yang lebih dari 60%-nya adalah praktek yang lebih fokus pada penguasaan keterampilan.
Lulus dari Akpelni tahun 2004, saya kembali ke perusahaan tempat saya melaksanakan praktek kerja lapangan, yang langsung memberikan saya kesempatan mulai berkarir sebagai perwira dek junior di salah satu armadanya yang berlayar antar samudera (foreign going). Saya keliling dunia di atas kapal bernama MT. Aditi dengan awak kapal dari berbagai bangsa. Saat inilah kompetensi kita sebagai lulusan perguruan tinggi maritim sesungguhnya mulai diuji. Perwira kapal niaga dalam menjalankan profesinya tunduk pada International Maritime Organization melalui konvensi-konvensi yang telah ditetapkan dan berlaku secara Internasional, salah satunya adalah Standard of Training, Certification, and Watch Keeping for Seafarers (STCW) 1978 beserta amandemennya.
Untuk menjadi pelaut yang profesional, kita harus memenuhi seluruh tuntutan keahlian dan keterampilan di dalam STCW tersebut. Beberapa kriteria atau kompetensi yang dipersyaratkan antara lain memiliki kemampuan bernavigasi dengan menggunakan bantuan obyek darat, benda angkasa, maupun peralatan navigasi elektronika, mampu merespon keadaan darurat sesuai prosedur yang tepat, mampu menangani proses bongkar-muat dan mempertahankan stabilitas kapal, mengerti aspek keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan laut, siap mengaplikasikan peraturan atau hukum yang berlaku di bidang kemaritiman, serta tentunya mampu berbahasa Inggris dengan menggunakan Standard Marine Communication Phrases. Dokumen-dokumen yang harus disiapkan antara lain Seaman Book, Passport, Medical Certificate yang sesuai standar Balai Kesehatan Kerja Pelayaran, Certificate of Competency, dan Certificate of Proficiency yang cukup banyak mulai dari yang tingkat dasar sampai yang lanjutan sesuai spesifikasi jenis kapalnya.
Selain itu, untuk bekerja pada jabatan tertentu di kapal, diperlukan Certificate of Endorsement sebagai pengukuhan kewenangan kita untuk bekerja di kapal ukuran berapa dan menjabat sebagai apa. Kalau berbicara soal jenjang karir di profesi saya ini, secara normal akan dimulai dari jabatan mualim junior, kemudian seiring dengan pengalaman masa berlayar dan peningkatan sertifikat keahlian, akan terus menanjak ke mualim senior hingga mencapai puncak karier sebagai Nakhoda.
Setelah bekerja selama hampir 3 tahun pertama terhitung sejak lulus kuliah, saya melanjutkan program sertifikasi Ahli Nautika Tingkat-II di Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang dan lulus tahun 2008. Kemudian saya kembali ke laut hingga tahun 2011 saya duduk lagi di bangku studi untuk menempuh program sertfikasi Ahli Nautika Tingkat-I di Balai Besar Pendidikan, Penyegaran, dan Peningkatan Ilmu Pelayaran (BP3IP) Jakarta. Dengan selesainya masa pendidikan dan pelatihan (diklat) saya tersebut, maka saya berhak mendapatkan pengakuan predikat sebagai Master Mariner (disingkat M.Mar.) sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2000 tentang Kepelautan.
Sebagai perwira dek, saya termasuk beruntung karena dapat menapak cukup cepat di karier laut saya. Hanya 6 bulan saya menjabat sebagai Mualim-IV, saya kemudian mendapat promosi jabatan menjadi Mualim-III. Tugas Mualim-IV adalah membantu Mualim-I dan Nakhoda mengurus dokumen muatan dan kapal. Sementara Mualim-III bertugas merawat peralatan keselamatan jiwa dan pemadam kebakaran. Hanya di satu kapal dengan satu kali kontrak saya menjabat Mualim-III, di kapal berikutnya saya langsung menjadi Mualim-II yang bertanggung jawab pada peralatan navigasi dan menjadi perwira medis kapal. Tipe kapal yang menjadi spesialisasi saya adalah kapal tanker, meskipun saya juga pernah menjadi Mualim-I dan Nakhoda di kapal dengan muatan komoditas umum (general cargo ship). Perusahaan dimana saya pernah bekerja adalah PT. Arpeni Pratama Ocean Line Tbk., First Delta Shipping Sdn.Bhd. (Malaysia), Hyundai Merchant Marine Co.Ltd. (Jepang), PT. Inti Energi Line, dan V.Ships (Asia Group) Pte. Ltd. (Singapura).
Saat saya menuliskan kisah tentang profesi saya sebagai perwira kapal niaga ini, saya sedang menjalani profesi lain yaitu sebagai dosen. Saya mengabdikan diri kembali ke almamater, tentunya dengan menempuh studi lanjut dari D-III ke S-1 dan S-2 yang disertai perjuangan panjang nan melelahkan. Satu hal yang ingin saya sampaikan di sini adalah jangan berhenti di satu level kehidupan, jika memang diperlukan keluarlah dari zona nyaman untuk meningkatkan prestasi yang gilang-gemilang.
Tentu pada kesempatan ini saya tidak akan berkisah tentang profesi dosen karena nanti akan jadi bias. Namun, saya hanya ingin menunjukkan juga pada generasi muda bahwa kuliah di perguruan tinggi maritim khususnya di jurusan kepelautan, tidak hanya menyiapkan untuk bekerja di kapal, tapi jika suatu saat hendak bekerja di darat, baik itu di perusahaan pelayaran, menjadi akademisi, atau bahkan berkarir di militer sekalipun, juga terbuka peluang yang sangat besar. Sampai saat ini meskipun saya mengajar di kampus, tapi sertifikat keahlian dan keterampilan pelaut saya yang harus di-updating setiap 5 tahun sekali, saat ini seluruhnya dalam kondisi aktif, sehingga jika sewaktu-waktu muncul keinginan untuk kembali berlayar, saya dapat mempergunakannya kembali.
Memang setiap profesi memiliki kisah suka-duka. Saya sebenarnya tidak ingin menyandingkan keduanya tapi supaya generasi penerus saya lebih siap, maka hal ini perlu saya ungkapkan di sini. Menjadi pelaut memang enak, bagaimana tidak, kita bisa keliling dunia tanpa biaya, bahkan kita dibayar oleh perusahaan. Saya pribadi sudah membuktikan dunia ini bulat dengan berlayar ke arah barat terus tanpa kembali ke timur, hingga kembali ke pelabuhan semula yaitu Singapura. Saya merasa sangat bahagia ketika berkesempatan merasakan 4 musim di negara lain yang tentu tidak dapat kita temui di Indonesia. Bertemu dengan banyak orang dari berbagai belahan dunia, mengunjungi tempat-tempat bersejarah, menikmati fasilitas transportasi umum yang nyaman, adalah beberapa hal yang jelas kita bisa rasakan selain tentunya tawaran gaji yang sangat menggiurkan.
Gaji terbesar di sepanjang karier saya adalah ketika perusahaan membayar saya sebesar US 5.500 setiap bulan untuk bekerja sebagai Mualim-II di kapal dengan deadweight 96.920 MT pada tahun 2010 dengan kontrak 9 bulan. Ini tentu jumlah yang sangat besar bagi seorang anak muda yang baru lulus dari kuliah 6 tahun sebelumnya. Tapi di balik kisah bahagia itu, tentu ada risiko yang harus dihadapi. Ancaman cuaca yang tidak menentu adalah salah satunya. Kita harus sangat familiar dengan tanda-tanda alam dan selalu memanfaatkan bantuan alat pemantau cuaca untuk mempersiapkan diri berlayar di cuaca yang tidak bersahabat.
Selain cuaca buruk, risiko kecelakaan transportasi disebabkan kelalaian juga sangat banyak terjadi di industri pelayaran kita, bahkan sampai hari inipun hal ini masih harus mendapat perhatian serius. Satu hal yang paling berat saya rasakan dalam menjalani profesi ini adalah ketika saya harus jauh dari keluarga tercinta. Setiap kali akan berangkat memulai kontrak baru, saya selalu merasakan kegetiran dalam diri karena harus meninggalkan keluarga tanpa tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari saat saya sedang berada di tengah samudera raya. Hal ini yang ditanamkan oleh perguruan tinggi maritim dengan sistem asramanya.
Taruna dibiasakan dari sejak menjalani pendidikan untuk hidup mandiri sehingga terbebas dari ‘penyakit’ yang dikeluhkan oleh perusahaan pelayaran selaku pengguna lulusan, yaitu rindu rumah (homesick). Hal lain yang juga perlu disiapkan adalah ketahanan mental kita menghadapi pandangan negative masyarakat yang terlanjur melekat pada diri pelaut, meskipun hal itu kini sudah mulai pudar. Satu hal yang perlu diingat, apapun profesi kita pasti aka nada suka-duka, kita tidak bisa mencintai satu profesi hanya karena sukanya tapi tidak mau menjalani dukanya.
Sebagai penutup, ijinkan saya menyampaikan kepada generasi muda sekalian. Bangsa kita, negara kita, Indonesia, terkenal sebagai bangsa maritim, negara maritim. Suka atau tidak suka, kita memiliki banyak pulau yang terpisah dan laut adalah penghubungnya. Bahkan ada satu lagu yang sangat terkenal yaitu ‘Nenek Moyangku Seorang Pelaut’. Maka perhatikanlah bahwa selama lautan belum kering, masih terhampar luas ladang pekerjaan kita. Ada satu pepatah atau slogan masyarakat Bugis-Makassar yang berbunyi ‘Kualleangi Tallanga Natoalia’ yang diartikan ‘Sekali Layar Terkembang, Pantang Biduk Surut ke Pantai’. Ini memberikan semangat kepada kita, bahwa hambatan apapun akan dapat kita hadapi kalau kita yakin dan tetap semangat dalam berusaha menggapai cita-cita kita, tentunya dengan disertai iringan doa tulus sepenuh hati. Apapun profesi kita, yakini bahwa ada rencana Tuhan di balik setiap tugas dan tanggung jawab yang diamanahkan pada profesi kita tersebut. Saya tunggu kabar berikutnya dari kalian generasi muda penerus bangsa, kibarkan panji-panji kejayaan Merah-Putih di Tujuh Samudera. Salam Bahari Adhi Guna!
Ditulis oleh :
Cahya Fajar Budi Hartanto, M.Mar., M.Si.
Kantor : Kampus Akpelni, Jl. Pawiyatan Luhur II No. 17 Bendan Dhuwur – Semarang
Rumah : Jl. Malabar I No. 662 RT. 02 RW. 04 Kp. Kalilangse, Gajahmungkur – Semarang
Ponsel : 081390710987
Surel : fajar.ikaba@gmail.com
Categories: Sosok
Posted: Mar 23, 2017 03:16
dedi
Posted: Mar 25, 2017 03:18
Agus Sulistiya
Posted: May 23, 2018 21:54
Cahya Fajar
Posted: Jun 29, 2018 21:22
Dimas Agum Wijaksono
Posted: Nov 29, 2018 20:40
Thomas
Posted: Nov 30, 2018 13:13
admin
Posted: Feb 2, 2019 23:55
Syihabudin Ahmad
Posted: Feb 2, 2019 23:57
Syihabudin Ahmad
Posted: Aug 5, 2019 20:49
Pangkat mondiana sidik
Posted: Aug 21, 2019 16:33
admin
Posted: May 20, 2020 00:56
Fian