-
Konsultasi jurusan kuliah?
-
Mempersiapkan beasiswa?
-
Ingin sukses berkarir?
-
Atau mengembangkan diri?
Followership, Mengapa Penting? Raden Muhsin Budiono: Pakar Followership Nomor 1 di Indonesia
Kepemimpinan ialah salah satu keterampilan yang wajib dimiliki oleh setiap orang. Pasalnya, bekal yang satu ini menjadi syarat utama untuk sukses. Apapun profesinya. Entah pengusaha, politisi, dokter, pengacara, akuntan, bankir, peneliti, guru dan seterusnya.
Tanpa jiwa kepemimpinan, setiap orang tidak bisa mencapai potensi maksimalnya. Sehingga jika itu terus dibiarkan, akan menjadi bumerang di kemudian hari.
Kepemimpinan sudah mulai digalakkan di negeri ini. Dari pendidikan keluarga, tingkat dasar, hingga perguruan tinggi; setiap individu didorong untuk terus mempraktekkannya. Kendati demikian, belum tentu semua orang mau dan mampu menerapkan kepemimpinan dengan benar.
Akibatnya? Kacau. Banyak yang hanya ingin menjadi bos. Menjadi pemimpin yang tidak mau melayani. Banyak yang hanya suka memerintah tapi tak mampu memberikan contoh kepada anggota tim. Banyak pula yang tidak berintegras. Sehingga korupsi, kolusi, dan nepotisme semakin sulit dihilangkan dari politik Indonesia.
Nah, masih berkaitan dengan kepemimpinan, keterampilan followership juga harus dimiliki setiap orang untuk bisa sukses. Pasalnya, untuk menjadi seorang pemimpin yang baik, harus mampu menjadi pengikut yang baik. Karena keduanya ialah proses yang saling terkait.
Di Indonesia, belum banyak yang tahu dan peduli dengan konsep maupun praktek followership. Dari segilintir orang yang memiliki keahlian di bidang ini ialah Muhsin Budiono. Pria ini sudah bertahun-tahun mendedikasikan hidupnya untuk memperhatikan dan mengenalkan Followership kepada masyarakat Indonesia.
Siapa gerangan sosok Muhsin Budiono? Apa saja yang telah dilakukannya untuk mengenalkan konsep Followership? Apa saja motivasinya? Dan bagaimana “drama” perjuangannya “mengangkat derajat” konsep dan praktek followership? Simak nukilan wawancara Kampusgw.com dengan Muhsin Budiono di bawah.
Siapa nama lengkap Bapak?
Di Akta kelahiran saya tertulis kalau nama lengkap saya Raden Muhsin Budiono. Di KTP & SIM saya juga demikian. Jadi sepertinya memang itu nama lengkap saya.
Apa kesibukan Bapak sehari-hari?
Kesibukan saya sehari-hari yakni berperan sebagai seorang hamba Allah, sebagai seorang anak, seorang kepala rumah tangga, seorang suami dan juga seorang ayah. Saya juga seorang trainer, penulis buku, dan karyawan (jongos) di sebuah perusahaan BUMN milik negara yang logonya huruf P miring ke kanan. Oil and gas company. Anda pasti bisa menebak nama perusahaan tersebut.
Apakah cita-cita Bapak di masa kecil?
Banyak. Waktu TK saya ingin menjadi Batman. Serius, Batman, manusia kelelawar. Kalau di tempat saya kelelawar itu sebutannya kampret. Jadi yang benar mestinya ya manusia kampret. Kenapa pingin jadi Batman? Soalnya waktu itu sosok Batman keren banget. Ganteng, suka menolong, tinggi gagah, kaya raya, pembasmi kejahatan dan punya kendaraan canggih. Saya benar-benar korban film Barat. Parah deh.
Sewaktu SD saya ingin menjadi Insinyur. Ini karena terpengaruh lingkungan. Saat itu saudara dan tetangga saya ada yang lulusan kampus teknik dan kerja di perusahaan multinasional. Penampilannya cool, keminter/kelihatan pinter dan terkesan jauh dari citra madesu (Masa depan suram). Padahal saya belum tahu kalau saudara dan tetangga saya itu hutangnya banyak atau tidak. Ha..ha.
Menginjak bangku SMP cita-cita saya berubah. Ingin jadi dokter. Tujuannya jelas, supaya bisa mengobati orang. Terutama Ibu saya. Maklum, waktu itu Ibu saya sering keluar masuk rumah sakit. Beliau punya penyakit asma dan bronchitis. Di samping itu dokter adalah profesi mulia sebab seringkali memiliki peluang besar untuk menolong orang lain.
Saat duduk di bangku SMA cita-cita saya kembali berubah. Kali ini semakin masuk akal. Karena saya tidak tinggi gagah, tidak punya pakaian dan kendaraan canggih. Maka menjadi Batman adalah hal yang mustahal. Menjadi dokter juga terasa sulit dijangkau. Karena saya bukan anak orang kaya sedangkan pendidikan dokter terkenal membutuhkan biaya yang besar. Maka saya memilih untuk lebih realistis: menjadi Trainer. Namun demikian waktu itu saya belum terpikir menjadi Trainer apa. Pokoknya menjadi Trainer saja. Padahal Trainer itu banyak macam dan jenisnya. Walhasil di masa SMA pun cita-cita saya masih terombang-ambing.
Sebenarnya, apa panggilan hidup Bapak?
Bagi saya panggilan hidup itu macam-macam. Ia bisa berubah seiring kematangan diri kita. Saat ini saya merasa panggilan hidup saya yakni untuk menyebarkan virus followership ke masyarakat Indonesia. Ini penting, karena virus leadership sudah terlalu dalam menginvasi masyarakat kita. Padahal -kalau mau jujur-, banyak yang belum siap mendapatkan materi kepemimpinan ini. Sikap Bossy, senang mengatur dan “sok” jadi pejabat merupakan salah satu efek negatif yang menyebar di masyarakat. Karena ketidaksiapan seseorang memahami konsep leadership atau untuk menjadi leader. Ke depan saya juga sedang mempersiapkan diri untuk memperkenalkan konsep/teori followership versi saya sendiri yang kental dengan nuansa religius: Islamic Followership.
Di usia berapa Bapak menemukan panggilan hidup?
Baru-baru ini saja, sekitar usia 28 tahun.
Apakah Bapak pernah “mencicipi” profesi selain Trainer dan Penulis?
Ya, saya pernah menjadi Marketing Representative untuk produk garmen. Sederhananya jadi Salesman. Jualan baju, celana, jaket dan hasil konveksi lainnya.
Apa suka duka selaku Trainer?
Dukanya dulu ya. Dukanya biasanya urusan penghasilan. Ha..ha. Jadi Trainer itu penghasilannya tidak tentu. Di samping besarannya tidak tentu ya waktunya tidak tentu juga. Ini karena saya tidak berafiliasi dengan lembaga pelatihan manapun dan saya belajar menjadi Trainer secara otodidak dari ratusan buku dan video tentang pelatihan/training.
Mungkin kalau mau lebih kreatif dan mendirikan lembaga pelatihan seperti lembaga-lembaga swasta yang sudah terkenal di luar sana barangkali penghasilannya bisa lebih ajek dan sustainable. Tiap bulan pasti dapat bayaran/honor. Namun begitu, masalah honor sebagai Trainer ini saya berpesan kepada Anda semua anak-anak muda yang saat ini sedang bergelut di dunia pelatihan agar jangan terfokus pada besar-kecilnya honor yang akan diterima. Karena Anda masih pemula.
Bukan bermaksud ujub, saya pribadi sejak belajar jadi Trainer di bangku kuliah sampai dengan sekarang ini tidak pernah sekalipun mematok tarif atau meminta honor dalam besaran tertentu pada orang/pihak yang meminta jasa saya sebagai Trainer maupun pembicara. Bahkan seringkali honor saya cuma 3M. Bukan 3 Million rupiah, tapi singkatan “Makasih Mas Muhsin”. Honornya ucapan terimakasih doang. He..he. Yang penting jadi Trainer itu ikhlas saja, sebab kita tidak akan pernah tahu seberapa besar jejaring (networking) yang sedang kita bangun dan seberapa besar kemanfaatan yang sedang kita siapkan di masa depan nanti melalui profesi sebagai Trainer ini.
Untuk sukanya sebenarnya banyak. Di samping kita selalu mengasah kemampuan diri, kita juga dituntut selalu belajar/update wacana-wacana pelatihan yang baru. Baca buku-buku tentang self development menjadi makanan rutin. Di samping itu kita mendapat banyak kenalan atau kawan baru. Networking sebagaimana yang saya singgung diatas.
Apa suka duka selaku penulis?
Sukanya dulu ya. Sebagai penulis, kita bisa meninggalkan legacy kepada anak-cucu dan keturunan-keturunan kita. Bahkan ketika jasad sudah membusuk dan terurai berpuluh-puluh tahun lamanya di dalam kubur kita masih bisa “menyapa” keturunan kita lewat lembar-lembar halaman yang kita tulis. Sebab buku adalah naskah abadi dan warisan terbaik (dan sekaligus termurah…ha..ha) yang bisa kita berikan kepada anak-cucu.
Kalau untuk dukanya, saya pikir adanya stigma umum yang dilekatkan ke kita (para penulis buku) bahwasannya kesukaan kita adalah menulis. Seringkali saya bertemu dengan orang baru yang ketika tahu kalau saya sudah menulis beberapa buku komentar pertama biasanya klasik dan standar: “Hobinya nulis ya Mas”. Ini kan nyebelin.
Kita baru kenal dan dia tidak tahu hobi saya itu apa. Tiba-tiba keluar statement kalau menulis adalah kesukaan saya. Benar-benar menjengkelkan. Sebab dia tidak tahu susahnya menulis dan menyelesaikan sebuah buku.
Bagi para penulis yang punya pekerjaan/kesibukan lain menyelesaikan 1 bab saja rasanya seperti mau melahirkan “bukaan pertama”. Ketika semua bab selesai dan naskah dicetak oleh penerbit rasanya seperti melahirkan seorang bayi. Yah, ini hanya metafora saja. Saya sendiri belum pernah merasakan hamil apalagi melahirkan bayi. Tapi saya pernah menyaksikan bagaimana beratnya perjuangan seorang Ibu saat proses persalinan secara normal.
Apa pengalaman paling mengesankan sejauh ini sebagai seorang Trainer?
Pengalaman mengesankan adalah ketika saya di-assessment dan diminta untuk berbicara tentang followership di hadapan ratusan orang dari berbagai penjuru Indonesia. Momen itu sangat berkesan. Apalagi saya hanya naik panggung sekitar 30 menit dan “bayaran” yang saya terima nominalnya lebih besar ketimbang upah saya selama sebulan di perusahaan saya bekerja saat ini. Wkwkwkwk.
Apa pengalaman paling mengesankan sejauh ini sebagai seorang penulis?
Pengalaman mengesankan barangkali ketika saya harus launching buku di atas mobil tangki pengangkut BBM dan dikonvoi oleh 1000 orang. Alhamdulillah dari lauching tersebut bisa memecahkan Rekor MURI juga. Penulis buku pertama di dunia yang launching buku di atas mobil tangki pengangkut BBM.
Kalau boleh tahu, siapa orang yang paling mempengaruhi kehidupan dan karir Anda sejauh ini?
Kedua orangtua saya.
Kalau boleh tahu, siapa sosok panutan/teladan Anda?
Dan mengapa anda mengagumi sosok tersebut? Nomor satu jelas Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wassalam. Karena memang akhlak dan kehidupan beliau luar biasa. Bahkan mereka yang non-Muslim pun mengakuinya dan sampai melakukan riset kemudian menempatkan Beliau dalam urutan pertama daftar 100 orang paling berpengaruh di dunia.
Apa saja kesibukan Bapak selain bekerja di Pertamina? Apakah juga aktif di bidang lain?
Saat ini (sampai 2019 nanti) saya mendapat amanah sebagai Ketua Umum Serikat Pekerja Pertamina Sepuluh Nopember yang berpusat di Surabaya. Alhamdulillah cukup banyak kegiatannya dan cukup menguras energi & pikiran juga. Serikat pekerja ini bidang yang cukup baru bagi saya dan ternyata sangat menarik untuk menghubungkannya dengan followership. Saya melihat adanya kecenderungan untuk menelaah dinamika Serikat Pekerja dengan teori Courageous Followers-nya Ira Chaleff.
Dengan melihat usia Bapak sekarang ini, Anda telah mengantongi berbagai prestasi yang membanggakan. Sebenarnya berapa jam rata-rata Anda istirahat (tidur) setiap harinya?.
Saya tidur normal sekitar 6-8 (delapan) jam perhari. Saya juga menyempatkan diri untuk tidur siang selepas sholat dhuhur sambil duduk bersila di Masjid atau musholla. Biasanya tidak lebih dari 5 menit, indikasinya kalau kaki saya sudah agak kesemutan ya saya hentikan “tidur ayam” tersebut. Alhamdulillah ini cukup bisa membuat badan segar sampai malam.
Terus terang saya agak kurang setuju kalau ada aktivis atau pekerja keras yang mengkorelasikan antara jam tidur dengan faktor kesuksesan. Prestasi dan kesempatan berkarya itu tidak bergantung berapa singkat Anda tidur. Namun bergantung pada seberapa berkah waktu yang Anda dapat.
Ada orang yang supaya bisa sukses maka ia memecut/memaksakan dirinya untuk tidur 3-4 jam sehari. Ia percaya bahwa dengan sedikit tidur kesempatan untuk sukses datang lebih besar dan ia juga yakin bahwa orang-orang sukses di dunia ini tidurnya relatif singkat. Akhirnya ia pun berasumsi kalau tidur normal identik dengan orang malas dan lemah. Akhirnya ia jadi lupa waktu untuk ibadah, lupa untuk mengaji, lupa dzikir, lupa silaturahmi, dll. Ini tidak berkah.
Menurut saya itu konsep yang salah. Sebab badan Anda punya haknya tersendiri untuk ditunaikan. Mata dan pikiran Anda juga punya hak untuk ditunaikan. Jangan “memperkosa diri” Anda hanya untuk tujuan materi dunia. Kalau untuk tujuan akhirat tidak apa-apa.
Apa kegiatan Anda di waktu luang?
Tidak tentu. Kadang saya membaca buku, kadang update Twitter/Instagram, kadang muroja’ah, kadang buka Youtube, kadang tidur-tiduran, kadang lari/olahraga, kadang iseng menelpon kawan lama (silaturahmi).
Kalau boleh tahu, apa sebenarnya passion Bapak?
Passion saya menjadi Pemerhati dan Followership Trainer
Di usia berapa Bapak menemukan passion?
Sekitar umur 28 tahun.
Anda dikenal pemerhati Followership nomor satu di Indonesia. Sejak kapan Anda menekuni peran tersebut?
Bukan nomor satu, cuma yang pertama saja. Saya mulai “pede” untuk memperkenalkan followership dan menisbatkan diri menjadi pemerhati followership sejak menerbitkan buku The Jongos Ways di akhir tahun 2013 lalu.
Apa motivasi Anda mendalami followership?
Karena followership ini ilmu yang unik dan terdzalimi. Orang-orang terlanjur mendewa-dewakan leadership. Belajar followership dianggap tidak penting, bahkan tidak perlu dipelajari. Nah, karena sangat sedikit pakar followership di dunia dan di Indonesia pun bahkan belum ada yang benar-benar memperhatikan followership. Maka saya menjadi tergerak untuk mendalaminya.
Categories: Sosok